Menu

Rabu, 15 Mei 2013

Waspadai Ancaman Asing di Perbatasan Indonesia!


"Bila kita hendak mengentaskan kemiskinan, kita harus memberikan kekuasaan, pengetahuan, tanah, kredit, teknologi, dan organisasi pada Si Miskin" (Hugu Chavez, 2005)

Setelah publik dipusingkan dengan harga daging, kemudian berganti dengan lonjakan harga bawang yang  tidak terkendali sekarang menyusul kenaikan harga cabai yang meroket. Para pedagang  mengeluhkan kenaikan yang sangat fantastis sehingga  menyebabkan omzet pedagang menurun secara signifikan. Ibu-ibu menjerit  karena uang belanjanya makin tak mencukupi, para  pedagang kehilangan barang dagangan dan keuntungannya menipis.
Terus terang dalam kondisi demikian, sebagian besar rakyat Indonesia menjerit di tengah kondisi perekonomian mereka rata-rata belum membaik. Bayangkan, bila Anda pada posisi sebagai konsumen? Pada saat harga bawang merah mencapai Rp 50 ribu per kg, kalau Anda berpendapatan tetap, mau tidak mau harus menurunkan volume pembelian karena uang belanja tetap. Jika harga meningkat hingga 200%, Anda pasti membeli pada tingkat minimal, bahkan menghentikan pembelian.
 
Aneh memang, Indonesia yang merupakan negara agraris dan menjadi lumbung hortikultura malah mengalami kelangkaan. Masalah kelangkaan dan tingginya harga produk-produk hortikultura  sesungguhnya tidak perlu terjadi di Indonesia. Sebagai negara yang memiliki dua musim sebenarnya potensi Indonesia sebagai penghasil produk-produk unggulan hortikultura hampir saja tidak memiliki pesaing. Artinya bahwa potensi Indonesia sungguh besar, yatu memiliki kekayaan sumberdaya komoditas pertanian yang tinggi serta ketersediaan lahan pertanian yang lebih luas. Variasi topografi dan model demografi untuk mengahasilkan produk yang bervariasi juga terbuka luas.
 
Menurut Sabiq Carebesth, Pemerhati masalah Ekonomi Politik Pangan Jurnal Sosial Agraria “Agricola”, memang dalam sebuah sistem, kegiatan kerja bertani tidak lagi semata-mata dilihat sebagai sebuah kebudayaan bercocok tanam, melainkan bisnis. Bisnis lalu menyangkut politik berupa lobi-lobi, patgulipat, kongkalikong, aturan pun diselenggarakan; siapa yang berhak memproduksi, mengedarkan, dan siapa yang masuk dalam “perencanaan” sebagai sasaran pengguna sekaligus disebut korban. Pengedarnya adalah pebisnis, yaitu mereka yang punya naluri, tenaga dan modal untuk menjadikan benih sebagai sumber keuntungan.
 
Keuntungan itu lalu diakumulasi. Akumulasi keuntungan itu lalu terkonsentrasi hanya di tangan segelintir para pebisnis yang menciptakan sistem monopoli. Monopoli lalu menjadikan sistem perbenihan dan pertanian khususnya membangun oligopoli, lalu siapa target sasaran bisnisnya? Petani kecil–budayawan penggagas peradaban dan sejarawan penemu benih.
 
Merekalah “target” dari eksploitasi sistematis pemiskinan yang akan berlangsung pelan-pelan melalui politik ketergantungan. Mula-mula benih, lama-lama pestisidanya, lalu yang paling parah adalah sistem bercocok tanamnya, lalu corak bermasyarakatnya. Gawat, bukan?
 
Monopoli tak terhindarkan, kartel menerapkan paham stelsel. Kartel domestik pada industri benih di dalam negeri telah diduga dilakukan World Economic Forum Partnership on Indonesian Sustainable Agriculture (WEFPISA) yang beranggotakan perusahaan-perusahaan multinasional yang telah lama mengincar pasar benih dan pangan di Indonesia.
 
Kartel Pangan
 
Sementara itu, masih menurut Sabiq Carebesth, kartel internasional dan nasional pada sektor pangan diduga mengendalikan harga, stok, dan pasokan komoditas pangan utama di dalam negeri. Di pasar internasional, setidaknya terdapat 12 perusahaan multinasional yang diduga terlibat kartel serealia, agrokimia, dan bibit tanaman pangan. Di dalam negeri ada 11 perusahaan dan enam pengusaha yang ditengarai menjalankan kartel kedelai, pakan unggas, dan gula.
 
Negara sebagai sebuah institusi pelindung rakyat akhirnya harus berhadap-hadapan dengan organisasi perdagangan yang memang berorientasi mengakumulasi keuntungan. Tak pelak keanggotaan Indonesia di Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) telah membuka jalan bagi perusahaan multinasional memonopoli usaha perbenihan dan pangan.
 
Komite Ekonomi Nasional (KEN) misalnya menyebutkan di pasar internasional terdapat empat pedagang besar yang disebut “ABCD”, yaitu Acher Daniels Midland (ADM), Bunge, Cargill, dan Louis Dreyfus. Mereka menguasai sekitar 90 persen pangsa perdagangan serealia (biji-bijian) dunia. Struktur pasar komoditas pangan juga memiliki kecenderungan oligopolistik.
 
Dalam industri agrokimia global juga terdapat enam perusahaan multinasional, yaitu Dupont, Monsanto, Syngenta, Dow, Bayer, dan BASF yang menguasai 75 persen pangsa pasar global. Dalam industri bibit terdapat empat perusahaan multinasional, yakni Monsanto, Dupont, Syngenta, dan Limagrain, dengan penguasaan 50 persen perdagangan bibit global.
 
Pada sektor pangan, kartel juga terjadi pada industri pangan dan impor. Indikasinya, satu per satu perusahaan makanan domestik diakuisisi perusahaan asing. Misalnya, Aqua diakuisisi Danone (Prancis), ABC diakuisisi Unilever (Inggris), dan Kecap Bango dikuasai Heinz (Amerika). Sementara itu, tren misalnya pada impor daging mayoritas rupanya dari Australia, bawang putih dari Tiongkok, dan bawang merah dari Filipina.
 
Belum lagi apa yang disampaikan oleh pengamat ekonomi  pertanian UGM, Prof. Dr. Moch. Maksum Machfoedz, dimana sembilan komoditas pangan nasional hampir semuanya impor. Disebutkan bahwa komoditas gandum dan terigu masih impor 100%, bawang putih 90%, susu 70%, daging sapi 36%, bibit ayam ras 100%, kedelai 65%, gula 40%, jagung 10%, dan garam 70%.
 
Sementara informasi yang disampaian Direktur Eksekutif Walhi Jawa Barat Dadan Ramdan, mengatakan produksi dan distribusi sayuran seperti tomat, cabai, seledri dan bawang di kawasan Garut dan Lembang juga telah dikuasai oleh Indofood Frito Lay, Heinz ABC, dan Del Monte. Sedangkan produksi dan distribusi kacang-kacangan, jagung, dan serelia di kawasan Bandung Timur, Subang, dan Purwakarta dikuasai oleh Cargill dan Charoen Pokphand.
 
Bidang saprotan, juga tidak lepas dari dominasi perusahaan asing dengan beroperasinya Ciba Geigy dari Jepang, BASF dan Bayer dari Jerman, serta Novartis dari Amerika Serikat yang menguasai jalur distribusi pestisida.Hal serupa juga terjadi di bidang pembenihan dengan kehadiran Monsanto yang mengembangkan bibit jagung dan kedelai, serta beberapa perusahaan Jepang untuk bibit sayuran.
 
Hal tersebut kemudian berdampak langsung pada maraknya kriminalisasi dan hilangnya kedaulatan petani dalam mengelola sumber pangan nasional, target swasembada pangan berkala pada 2014 akan jadi isapan jempol belaka. Tak pelak, Indonesia terperangkap dalam liberalisasi perdagangan yang mengakibatkan Indonesia dibanjiri produk pangan dan manufaktur impor.
 
Sikap Pemerintah
 
Dalam UU NO 7 Tahun 1996 pasal  1 telah mengatur Konsep Ketahanan Pangan, yang dikatakan bahwa : Ketahanan Pangan adalah kondisi  terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup baik jumlah maupun mutunya, aman, merata dan terjangkau. Ketahanan pangan nasional masih merupakan isu  strategis bagi Indonesia mengingat kecukupan produksi, distribusi dan konsumsi pangan mempunyai dimensi sangat luas dan terkait dengan dimensi sosial, ekonomi dan politik. Dengan demikian diperlukan penyelarasan peningkatan produksi di satu pihak (kepentingan makro) dan peningkatan pendapatan dan kesejahteraan petani di lain pihak (kepentingan mikro) dengan prinsip pembangunan dari, oleh dan untuk masyarakat petani  sebagai upaya pemberdayaan.
 
Seharusnya sikap yang tertuang dalam undang-undang tersebut menjadi pedoman penting pemerintah mengingat pemerintah akhir-akhir ini kewalahan dalam mengamankan kebijakan harga dasar produk-produk hortikultura sehingga cenderung sangat merugikan petani produksi. Biarlah petani yang melakukan keputusan-keputusan usahataninya sesuai signal pasar dimana kepentingan petani produsen dan konsumen dalam konteks stabilitas dapat diakomodir melalui pendekatan usahatani terpadu (mixed and integrated farming system) yang mencerminkan the rightcrops in the right place principles.
 
Namun pada kenyataannya kebijakan pangan nasional yang diambil pemerintah saat ini dinilai tidak memberikan perlindungan terhadap petani. Banyak kebijakan kontroversial dan kontraproduktif, misalnya Presiden menginstruksikan adanya program kemandirian pangan. Namun, kebijakan yang diambil justru melakukan bebas bea masuk pangan impor. Kondisi ini menjadikan terbuka dengan luas gempuran produk-produk dari luar terhadap produk dalam negeri.
 
Pemerintah juga tidak melakukan proteksi hasil pertanian dalam negeri. Hal tersebut berbeda dengan yang dilakukan Pemerintah Cina yang memberikan kebijakan pertanian pro rakyat. Misalnya, Untuk bisnis unggas saja, di negara lain pakan diproteksi, bahkan diberikan secara gratis untuk melindungi petaninya.
 
Sudah saatnya pemerintah mengeluarkan kebijakan pangan nasional yang pro pertanian dengan memberikan perlindungan terhadap petani, mulai dari harga jual, bibit, pakan, hingga kebijakan agroindustri yang melindungi petani. Ketergantungan pada produk-produk hortikultura saat ini di masyarakat sangat rawan. Oleh karena itu, perlu diatasi dengan kebijakan diversifikasi pangan lokal. Padahal menurut, Dr. Eni Harmayani, M.Sc peneliti pangan dan Staf pengajar Fakultas Teknologi Pertanian UGM, pangan lokal bahkan memiliki potensi lebih baik daripada bahan impor karena mempunyai kesesuaian biologis yang lebih tinggi dengan manusia dan mikrobiota lokal Indonesia. 
 
Wujudkan Kedaulatan Pangan Bangsa
 
Dominasi perusahaan asing dari hulu ke hilir tersebut, telah menyebabkan produk pangan hanya dipandang sebagai komoditas perdagangan yang harganya rentan berubah sesuai kondisi pasar. Kecenderungan dominasi lahan pertanian menjadi miliki asing, telah menyebabkan kehilangan kedaulatan petani untuk mengatur sistem pertaniannya sendiri. Saat ini pangan hanya dipandang sebagai sekedar komoditas yang diperdagangkan, bukan hak yang harus dipenuhi. Berpuluh juta petani yang dulunya mandiri dengan mengembangkan tanaman pangan lokal kini bergantung pada korporasi dengan pola pengembangan ekspor global. 
 
Dengan kondisi seperti itu, sulit untuk mewujudkan kedaulatan pangan. Padahal, hak atas pangan merupakan bagian dari hak asasi manusia yang meliputi jaminan kontinuitas, kualitas, dan aksesbilitas seperti yang diatur dalam UU No 11 Tahun 2205 tentang Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya.
 
Saatnya pemerintah harus tegas dan konsisten dengan target pencapaian kedaulatan pangan. Jangan mau diatur-atur oleh para importir. Dalam fluktuasi harga pangan, sudah beberapa kali pemerintah dipermainkan oleh kelompok tertentu karena Indonesia tidak mandiri dalam hal pangan. Pola yang sama digunakan para importir saat terjadi kelangkaan kedelai beberapa waktu lalu.
 
Ketika ndonesia sedang berupaya membangun potensi hortikultura lokal, begitu banyak memperoleh tekanan dari negara barat. Berbagai celah dicari untuk dapat mengintervensi kedaulatan pangan negeri ini. Salah satunya adalah melalui organisasi-organisasi perdagangan dunia dimana Indonesia menjadi anggotanya. Banyak perjanjian dan kesepakatan yang dibuat menjadi kesempatan bagi negara lain untuk mengintervensi kedaulatan Indonesia. Misalnya saja melalui keikusertaan Indonesia dalam Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) telah menempatkan Indonesia pada posisi lemah hingga tidak berdaulat berhadapan dengan bangsa-bangsa di dunia.
 
Menurut Ketua Umum Serikat Petani Indonesia Henry Saragih dampak keikutsertaan Indonesia dalam WTO berdampak langsung terhadap meningkatnya impor pangan. Pada 2012, impor produk pangan Indonesia telah menghabiskan anggaran lebih dari Rp 125 triliun. Dana sebesar itu digunakan untuk mengimpor gandum, beras, kedelai, ikan, garam, hingga daging sapi.
 
Sebelumnya, larangan ekspor bijih mineral termasuk nikel menyeret Indonesia ke WTO, setelah Pemerintah Jepang melayangkan protes atas kebijakan tersebut. Maklum saja, sikap ini dilakukan karena Jepang merupakan negara kedua terbesar pengguna nikel di dunia. Juga adanya pengaduan ke WTO yang ditempuh Pemerintah Amerika Serikat sejak Indonesia melarang 13 jenis hortikultura masuk ke negeri ini. 
 
Untuk itu, perlu kiranya mendengarkan apa yang disampaikan oleh Bustanul Arifin, Guru Besar UNILA, rasa percaya diri korps diplomat ekonomi atau lebih khusus Tim Perundingan Perdagangan Internasional perlu selalu ditumbuhkan. Setidaknya bahwa kebijakan pada level koordinasi, teknis pertanian dan perdagangan merupakan satu kesatuan utuh yang tak dapat dipecahkan. Para diplomat ini perlu diberikan tambahan pemahaman persoalan hortikultura nasional, yang terkadang lebih bersifat struktural, mulai dari teknis-agronomis sampai pada aspek sosial-ekonomi dan perdagangan internasional.
 
Kekuatan diplomasi yang paling tangguh adalah apabila ditopang oleh soliditas kebijakan ekonomi di dalam negeri dan dukungan penuh masyarakat untuk menunjukkan kewibawaan kebijakan pangan negara yang sebenarnya. Jangan sampai negeri yang kaya akan sumber daya alam, malah justru hidup dalam takaran asing...
 
Sumber:
http://www.ugm.ac.id/index.php?page=rilis&artikel=3648
http://bitra.or.id/2012/2012/07/10/asing-ancam-kedaulatan-pangan/
http://bitra.or.id/2012/2012/07/10/asing-ancam-kedaulatan-pangan/
http://www.academia.edu/3025254/Mewaspadai_Imperialisme_Benih_dan_Kartel_Pangan
http://bitra.or.id/2012/2013/02/20/demi-kedaulatan-pangan-indonesia-didesak-keluar-dari-wto/
http://barifin.wordpress.com/2013/02/03/diplomasi-hortikultura-dimulai-dari-dalam-negeri/

0 Komentar di Blogger
Silahkan Berkomentar Melalui Akun Facebook Anda
Silahkan Tinggalkan Komentar Anda
http://tusoh.blogspot.com/

0 komentar: