"Bila
kita hendak mengentaskan kemiskinan, kita harus memberikan kekuasaan,
pengetahuan, tanah, kredit, teknologi, dan organisasi pada Si Miskin"
(Hugu Chavez, 2005)
Setelah
publik dipusingkan dengan harga daging, kemudian berganti dengan
lonjakan harga bawang yang tidak terkendali sekarang menyusul kenaikan
harga cabai yang meroket. Para pedagang mengeluhkan kenaikan yang
sangat fantastis sehingga menyebabkan omzet pedagang menurun secara
signifikan. Ibu-ibu menjerit karena uang belanjanya makin tak
mencukupi, para pedagang kehilangan barang dagangan dan keuntungannya
menipis.
Terus
terang dalam kondisi demikian, sebagian besar rakyat Indonesia menjerit
di tengah kondisi perekonomian mereka rata-rata belum membaik.
Bayangkan, bila Anda pada posisi sebagai konsumen? Pada saat harga
bawang merah mencapai Rp 50 ribu per kg, kalau Anda berpendapatan tetap,
mau tidak mau harus menurunkan volume pembelian karena uang belanja
tetap. Jika harga meningkat hingga 200%, Anda pasti membeli pada tingkat
minimal, bahkan menghentikan pembelian.
Aneh
memang, Indonesia yang merupakan negara agraris dan menjadi lumbung
hortikultura malah mengalami kelangkaan. Masalah kelangkaan dan
tingginya harga produk-produk hortikultura sesungguhnya tidak perlu
terjadi di Indonesia. Sebagai negara yang memiliki dua musim sebenarnya
potensi Indonesia sebagai penghasil produk-produk unggulan hortikultura
hampir saja tidak memiliki pesaing. Artinya bahwa potensi Indonesia
sungguh besar, yatu memiliki kekayaan sumberdaya komoditas pertanian
yang tinggi serta ketersediaan lahan pertanian yang lebih luas. Variasi
topografi dan model demografi untuk mengahasilkan produk yang bervariasi
juga terbuka luas.
Menurut
Sabiq Carebesth, Pemerhati masalah Ekonomi Politik Pangan Jurnal Sosial
Agraria “Agricola”, memang dalam sebuah sistem, kegiatan kerja bertani
tidak lagi semata-mata dilihat sebagai sebuah kebudayaan bercocok tanam,
melainkan bisnis. Bisnis lalu menyangkut politik berupa lobi-lobi,
patgulipat, kongkalikong, aturan pun diselenggarakan; siapa yang berhak
memproduksi, mengedarkan, dan siapa yang masuk dalam “perencanaan”
sebagai sasaran pengguna sekaligus disebut korban. Pengedarnya adalah
pebisnis, yaitu mereka yang punya naluri, tenaga dan modal untuk
menjadikan benih sebagai sumber keuntungan.
Keuntungan
itu lalu diakumulasi. Akumulasi keuntungan itu lalu terkonsentrasi
hanya di tangan segelintir para pebisnis yang menciptakan sistem
monopoli. Monopoli lalu menjadikan sistem perbenihan dan pertanian
khususnya membangun oligopoli, lalu siapa target sasaran bisnisnya?
Petani kecil–budayawan penggagas peradaban dan sejarawan penemu benih.
Merekalah
“target” dari eksploitasi sistematis pemiskinan yang akan berlangsung
pelan-pelan melalui politik ketergantungan. Mula-mula benih, lama-lama
pestisidanya, lalu yang paling parah adalah sistem bercocok tanamnya,
lalu corak bermasyarakatnya. Gawat, bukan?
Monopoli
tak terhindarkan, kartel menerapkan paham stelsel. Kartel domestik pada
industri benih di dalam negeri telah diduga dilakukan World Economic Forum Partnership on Indonesian Sustainable Agriculture (WEFPISA) yang beranggotakan perusahaan-perusahaan multinasional yang telah lama mengincar pasar benih dan pangan di Indonesia.
Kartel Pangan
Sementara
itu, masih menurut Sabiq Carebesth, kartel internasional dan nasional
pada sektor pangan diduga mengendalikan harga, stok, dan pasokan
komoditas pangan utama di dalam negeri. Di
pasar internasional, setidaknya terdapat 12 perusahaan multinasional
yang diduga terlibat kartel serealia, agrokimia, dan bibit tanaman
pangan. Di dalam negeri ada 11 perusahaan dan enam pengusaha yang
ditengarai menjalankan kartel kedelai, pakan unggas, dan gula.
Negara
sebagai sebuah institusi pelindung rakyat akhirnya harus
berhadap-hadapan dengan organisasi perdagangan yang memang berorientasi
mengakumulasi keuntungan. Tak pelak keanggotaan Indonesia di Organisasi
Perdagangan Dunia (WTO) telah membuka jalan bagi perusahaan
multinasional memonopoli usaha perbenihan dan pangan.
Komite
Ekonomi Nasional (KEN) misalnya menyebutkan di pasar internasional
terdapat empat pedagang besar yang disebut “ABCD”, yaitu Acher Daniels
Midland (ADM), Bunge, Cargill, dan Louis Dreyfus. Mereka menguasai
sekitar 90 persen pangsa perdagangan serealia (biji-bijian) dunia.
Struktur pasar komoditas pangan juga memiliki kecenderungan
oligopolistik.
Dalam
industri agrokimia global juga terdapat enam perusahaan multinasional,
yaitu Dupont, Monsanto, Syngenta, Dow, Bayer, dan BASF yang menguasai 75
persen pangsa pasar global. Dalam industri bibit terdapat empat
perusahaan multinasional, yakni Monsanto, Dupont, Syngenta, dan
Limagrain, dengan penguasaan 50 persen perdagangan bibit global.
Pada
sektor pangan, kartel juga terjadi pada industri pangan dan impor.
Indikasinya, satu per satu perusahaan makanan domestik diakuisisi
perusahaan asing. Misalnya, Aqua diakuisisi Danone (Prancis), ABC
diakuisisi Unilever (Inggris), dan Kecap Bango dikuasai Heinz (Amerika).
Sementara itu, tren misalnya pada impor daging mayoritas rupanya dari
Australia, bawang putih dari Tiongkok, dan bawang merah dari Filipina.
Belum
lagi apa yang disampaikan oleh pengamat ekonomi pertanian UGM, Prof.
Dr. Moch. Maksum Machfoedz, dimana sembilan komoditas pangan nasional
hampir semuanya impor. Disebutkan bahwa komoditas gandum dan terigu
masih impor 100%, bawang putih 90%, susu 70%, daging sapi 36%, bibit
ayam ras 100%, kedelai 65%, gula 40%, jagung 10%, dan garam 70%.
Sementara
informasi yang disampaian Direktur Eksekutif Walhi Jawa Barat Dadan
Ramdan, mengatakan produksi dan distribusi sayuran seperti tomat, cabai,
seledri dan bawang di kawasan Garut dan Lembang juga telah dikuasai
oleh Indofood Frito Lay, Heinz ABC, dan Del Monte. Sedangkan produksi
dan distribusi kacang-kacangan, jagung, dan serelia di kawasan Bandung
Timur, Subang, dan Purwakarta dikuasai oleh Cargill dan Charoen
Pokphand.
Bidang
saprotan, juga tidak lepas dari dominasi perusahaan asing dengan
beroperasinya Ciba Geigy dari Jepang, BASF dan Bayer dari Jerman, serta
Novartis dari Amerika Serikat yang menguasai jalur distribusi
pestisida.Hal serupa juga terjadi di bidang pembenihan dengan kehadiran
Monsanto yang mengembangkan bibit jagung dan kedelai, serta beberapa
perusahaan Jepang untuk bibit sayuran.
Hal
tersebut kemudian berdampak langsung pada maraknya kriminalisasi dan
hilangnya kedaulatan petani dalam mengelola sumber pangan nasional,
target swasembada pangan berkala pada 2014 akan jadi isapan jempol
belaka. Tak pelak, Indonesia terperangkap dalam liberalisasi perdagangan
yang mengakibatkan Indonesia dibanjiri produk pangan dan manufaktur
impor.
Sikap Pemerintah
Dalam
UU NO 7 Tahun 1996 pasal 1 telah mengatur Konsep Ketahanan Pangan,
yang dikatakan bahwa : Ketahanan Pangan adalah kondisi terpenuhinya
pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari
tersedianya pangan yang cukup baik jumlah maupun mutunya, aman, merata
dan terjangkau. Ketahanan pangan nasional masih merupakan isu strategis
bagi Indonesia mengingat kecukupan produksi, distribusi dan konsumsi
pangan mempunyai dimensi sangat luas dan terkait dengan dimensi sosial,
ekonomi dan politik. Dengan demikian diperlukan penyelarasan peningkatan
produksi di satu pihak (kepentingan makro) dan peningkatan pendapatan
dan kesejahteraan petani di lain pihak (kepentingan mikro) dengan
prinsip pembangunan dari, oleh dan untuk masyarakat petani sebagai
upaya pemberdayaan.
Seharusnya
sikap yang tertuang dalam undang-undang tersebut menjadi pedoman
penting pemerintah mengingat pemerintah akhir-akhir ini kewalahan dalam
mengamankan kebijakan harga dasar produk-produk hortikultura sehingga
cenderung sangat merugikan petani produksi. Biarlah petani yang
melakukan keputusan-keputusan usahataninya sesuai signal pasar dimana
kepentingan petani produsen dan konsumen dalam konteks stabilitas dapat
diakomodir melalui pendekatan usahatani terpadu (mixed and integrated farming system) yang mencerminkan the rightcrops in the right place principles.
Namun
pada kenyataannya kebijakan pangan nasional yang diambil pemerintah
saat ini dinilai tidak memberikan perlindungan terhadap petani. Banyak
kebijakan kontroversial dan kontraproduktif, misalnya Presiden
menginstruksikan adanya program kemandirian pangan. Namun, kebijakan
yang diambil justru melakukan bebas bea masuk pangan impor. Kondisi ini
menjadikan terbuka dengan luas gempuran produk-produk dari luar terhadap
produk dalam negeri.
Pemerintah
juga tidak melakukan proteksi hasil pertanian dalam negeri. Hal
tersebut berbeda dengan yang dilakukan Pemerintah Cina yang memberikan
kebijakan pertanian pro rakyat. Misalnya, Untuk bisnis unggas saja, di
negara lain pakan diproteksi, bahkan diberikan secara gratis untuk
melindungi petaninya.
Sudah
saatnya pemerintah mengeluarkan kebijakan pangan nasional yang pro
pertanian dengan memberikan perlindungan terhadap petani, mulai dari
harga jual, bibit, pakan, hingga kebijakan agroindustri yang melindungi
petani. Ketergantungan pada produk-produk hortikultura saat ini di
masyarakat sangat rawan. Oleh karena itu, perlu diatasi dengan kebijakan
diversifikasi pangan lokal. Padahal menurut, Dr. Eni Harmayani, M.Sc
peneliti pangan dan Staf pengajar Fakultas Teknologi Pertanian UGM,
pangan lokal bahkan memiliki potensi lebih baik daripada bahan impor
karena mempunyai kesesuaian biologis yang lebih tinggi dengan manusia
dan mikrobiota lokal Indonesia.
Wujudkan Kedaulatan Pangan Bangsa
Dominasi
perusahaan asing dari hulu ke hilir tersebut, telah menyebabkan produk
pangan hanya dipandang sebagai komoditas perdagangan yang harganya
rentan berubah sesuai kondisi pasar. Kecenderungan dominasi lahan
pertanian menjadi miliki asing, telah menyebabkan kehilangan kedaulatan
petani untuk mengatur sistem pertaniannya sendiri. Saat ini pangan hanya
dipandang sebagai sekedar komoditas yang diperdagangkan, bukan hak yang
harus dipenuhi. Berpuluh juta petani yang dulunya mandiri dengan
mengembangkan tanaman pangan lokal kini bergantung pada korporasi dengan
pola pengembangan ekspor global.
Dengan
kondisi seperti itu, sulit untuk mewujudkan kedaulatan pangan. Padahal,
hak atas pangan merupakan bagian dari hak asasi manusia yang meliputi
jaminan kontinuitas, kualitas, dan aksesbilitas seperti yang diatur
dalam UU No 11 Tahun 2205 tentang Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya.
Saatnya
pemerintah harus tegas dan konsisten dengan target pencapaian
kedaulatan pangan. Jangan mau diatur-atur oleh para importir. Dalam
fluktuasi harga pangan, sudah beberapa kali pemerintah dipermainkan oleh
kelompok tertentu karena Indonesia tidak mandiri dalam hal pangan. Pola
yang sama digunakan para importir saat terjadi kelangkaan kedelai
beberapa waktu lalu.
Ketika
ndonesia sedang berupaya membangun potensi hortikultura lokal, begitu
banyak memperoleh tekanan dari negara barat. Berbagai celah dicari untuk
dapat mengintervensi kedaulatan pangan negeri ini. Salah satunya adalah
melalui organisasi-organisasi perdagangan dunia dimana Indonesia
menjadi anggotanya. Banyak perjanjian dan kesepakatan yang dibuat
menjadi kesempatan bagi negara lain untuk mengintervensi kedaulatan
Indonesia. Misalnya saja melalui keikusertaan Indonesia dalam Organisasi
Perdagangan Dunia (WTO) telah menempatkan Indonesia pada posisi lemah
hingga tidak berdaulat berhadapan dengan bangsa-bangsa di dunia.
Menurut
Ketua Umum Serikat Petani Indonesia Henry Saragih dampak keikutsertaan
Indonesia dalam WTO berdampak langsung terhadap meningkatnya impor
pangan. Pada 2012, impor produk pangan Indonesia telah menghabiskan
anggaran lebih dari Rp 125 triliun. Dana sebesar itu digunakan untuk
mengimpor gandum, beras, kedelai, ikan, garam, hingga daging sapi.
Sebelumnya,
larangan ekspor bijih mineral termasuk nikel menyeret Indonesia ke WTO,
setelah Pemerintah Jepang melayangkan protes atas kebijakan tersebut.
Maklum saja, sikap ini dilakukan karena Jepang merupakan negara kedua
terbesar pengguna nikel di dunia. Juga adanya pengaduan ke WTO yang
ditempuh Pemerintah Amerika Serikat sejak Indonesia melarang 13 jenis
hortikultura masuk ke negeri ini.
Untuk
itu, perlu kiranya mendengarkan apa yang disampaikan oleh Bustanul
Arifin, Guru Besar UNILA, rasa percaya diri korps diplomat ekonomi atau
lebih khusus Tim Perundingan Perdagangan Internasional perlu selalu
ditumbuhkan. Setidaknya bahwa kebijakan pada level koordinasi, teknis
pertanian dan perdagangan merupakan satu kesatuan utuh yang tak dapat
dipecahkan. Para diplomat ini perlu diberikan tambahan pemahaman
persoalan hortikultura nasional, yang terkadang lebih bersifat
struktural, mulai dari teknis-agronomis sampai pada aspek sosial-ekonomi
dan perdagangan internasional.
Kekuatan
diplomasi yang paling tangguh adalah apabila ditopang oleh soliditas
kebijakan ekonomi di dalam negeri dan dukungan penuh masyarakat untuk
menunjukkan kewibawaan kebijakan pangan negara yang sebenarnya. Jangan
sampai negeri yang kaya akan sumber daya alam, malah justru hidup dalam
takaran asing...
Sumber:
http://www.ugm.ac.id/index.php?page=rilis&artikel=3648
http://bitra.or.id/2012/2012/07/10/asing-ancam-kedaulatan-pangan/
http://bitra.or.id/2012/2012/07/10/asing-ancam-kedaulatan-pangan/
http://www.academia.edu/3025254/Mewaspadai_Imperialisme_Benih_dan_Kartel_Pangan
http://bitra.or.id/2012/2013/02/20/demi-kedaulatan-pangan-indonesia-didesak-keluar-dari-wto/
http://barifin.wordpress.com/2013/02/03/diplomasi-hortikultura-dimulai-dari-dalam-negeri/