Sudah lebih dari setengah abad, Shoshana Lehrer meninggalkan Indonesia.
Namun ia masih tetap ingat terhadap negeri yang ribuan kilometer jauhnya
dari tempat tinggalnya sekarang di pinggiran Kota Haifa, Israel.
Padahal,
dia dan keluarganya hidup di Indonesia sebagai pengungsi setelah kabur
dari kejaran pasukan Nazi di Austria pada 1938. "Meski kami mengalami
saat-saat amat sulit di sana, saya senang. Indonesia negeri indah. Saya
benar-benar merasa seperti negara saya," kata perempuan 77 tahun ini
kepada surat kabar The Jerusalem Post Desember 2010.
Bukan
hanya Lehrer pernah merasakan atmosfer Indonesia. Sedikitnya ada 50
orang Yahudi di Israel juga mempunyai pengalaman serupa. Untuk berbagi
kenangan, mereka membentuk perkumpulan pada 1995 disebut Tempo Dulu.
Anggota termuda berusia 65 tahun.
Menurut Lehrer, mereka
berkumpul paling sedikit satu atau dua kali setahun. Selain berbagi
cerita, kegiatan lainnya adalah memasak makanan Indonesia, seperti
rendang dan nasi rawon. Bahkan, kebanyakan anggota Tempo Dulu diketuai
Lehrer ini masih mengetahui beberapa kata dalam bahasa Indonesia.
Lehrer
dan anggota Tempo Dulu menjadi saksi serta bukti masyarakat Yahudi
pernah menetap di Indonesia. Profesor Rotem Kowner dari Universitas
Haifa, Israel, mengungkapkan orang Yahudi pertama bermukim di Indonesia
adalah seorang saudagar dari Fustat, Mesir. "Dia meninggal di pelabuhan
Barus, barat daya Sumatera, pada 1290," ujarnya. Sejak 2003, Kowner
sudah meneliti sejarah komunitas Yahudi di Indonesia.
Dia yakin
orang-orang Yahudi beragama Nasrani juga ikut dalam rombongan kapal
Portugis mendarat di Nusantara pada awal abad ke-16. Mereka menetap di
sekitar Selat Malaka, pantai utara Sumatera, dan Pulau Jawa.
Kedatangan
orang-orang Yahudi ke Indonesia terus berlangsung seiring masuknya dua
perusahaan Belanda: the Dutch East India Company (VOC) dan the Dutch
West Indian Company (WIC) pada 1602. Salah satunya, prajurit Belanda
kelahiran Ukraina, Leendert Miero (1755-1834), tiba pada 1775. Dia
menjadi tuan tanah di Pondok Gede (sekarang daerah perbatasan antara
Jakarta Timur dan Bekasi).
Setelah itu muncul Jacob Saphir
(1822-1886), mampir selama tujuh pekan dalam perjalanannya ke Australia
pada 1861. Pelancong Yahudi keturunan Rumania ini melaporkan terdapat
sejumlah orang Yahudi di Batavia, Surabaya, dan Semarang. Namun tidak
ditemukan komunitas Yahudi.
Saphir mencatat terdapat sedikitnya
20 keluarga Yahudi di Batavia merupakan keturunan Belanda dan Jerman.
Mereka berprofesi sebagai pedagang, pegawai pemerintah, dan serdadu
Hindia Belanda. Namun tidak ada sinagoge atau kuburan khusus orang
Yahudi saat itu.
Pada 1921, penyandang dana Zionis, Israel Cohen,
mendarat di Jawa dalam kunjungan lima hari. Dia memperkirakan saat itu
terdapat sekitar dua ribu orang Yahudi tinggal di Pulau Jawa.
Komunitas
Yahudi mulai muncul pada 1920-an dengan dibentuknya the Association for
Jewish Interests in the Dutch East Indies dan the World Zionist
Conference (WZC) memiliki cabang di Batavia, Bandung, Malang, Medan,
Padang, Semarang, dan Yogyakarta. WZC berpusat di London ini berdiri
pada 1920 dan merupakan organisasi pencari dana bagi gerakan Zionis.
Muncul pula majalah bulanan Eretz Israel terbit di Padang sejak 1926 hingga ditutup oleh Jepang pada 1942.
Pemerintah
Hindia Belanda pernah melakukan sensus pada 1930 menyebutkan terdapat
1.039 orang Yahudi. Kebanyakan tinggal di Jawa (lebih dari 85 persen),
Sumatera (11 persen), dan di beberapa pulau (kurang dari empat persen).
Menjelang Perang Pasifik (1941-1945), jumlah orang Yahudi di Indonesia
mencapai puncaknya, yakni sekitar tiga ribu orang.
Kaum Yahudi di
Indonesia ini terdiri dari tiga golongan. Pertama, orang-orang Yahudi
berkewarganegaraan Belanda dipekerjakan oleh pemerintah kolonial sebagai
penjaga toko, tentara, guru, dan dokter. Kelompok kedua adalah Yahudi
Bagdadi berasal dari Irak, Yaman, dan negara lain di Timur Tengah.
Mereka kebanyakan tinggal di Surabaya dan bekerja sebagai pengusaha
ekspor-impor, penjaga toko, pedagang asongan, serta tukang kayu dan
batu. Golongan ketiga adalah Yahudi pengungsi lari dari kejaran Nazi.
Mereka dari Jerman, Austria, dan Eropa Timur.
Yahudi Bagdadi
dikenal religius, bahkan banyak yang ultraortodoks. Sedangkan Yahudi
Belanda sering berasimilasi walau tetap menjaga tradisi Yahudi. Beberapa
di antaranya menyembunyikan identitas Yahudi mereka dan menikah dengan
perempuan Kristen Eropa atau gadis Indonesia.
Secara ekonomi,
orang-orang Yahudi ini hidup makmur. Mereka mempekerjakan orang-orang
asli Indonesia sebagai pembantu, tukang masak, dan sopir. Pendapatan per
kapita mereka 4.017 guilder ketimbang pribumi cuma 78 guilder. "Kami
mempunyai sebuah mobil sport," kata Dr Eli Dwek pernah tinggal di
Surabaya semasa kecil.
Setelah Indonesia merdeka, komunitas
Yahudi mulai menurun. Menurut laporan Kongres Yahudi Sedunia (WJC)
keluar beberapa hari setelah pengusiran orang-orang Belanda, terdapat
sekitar 450 orang Yahudi di Indonesia pada November 1957. Enam tahun
kemudian, jumlahnya terus merosot menjadi 50 orang. Kini diperkirakan
hanya 20 orang.
Tapi sekarang mereka mulai bangkit, di antaranya
dengan mendirikan UIJC (United Indonesian Jewish Community). Organisasi
ini mencatat setidak ada dua ribu orang Indonesia keturunan Yahudi.
sumber:http://www.merdeka.com/
Selasa, 28 Mei 2013
Jejak Yahudi di Indonesia
0 Komentar di Blogger
Langganan:
Posting Komentar (Atom)