Menu

Selasa, 28 Mei 2013

Jejak Yahudi di Indonesia



Sudah lebih dari setengah abad, Shoshana Lehrer meninggalkan Indonesia. Namun ia masih tetap ingat terhadap negeri yang ribuan kilometer jauhnya dari tempat tinggalnya sekarang di pinggiran Kota Haifa, Israel.

Padahal, dia dan keluarganya hidup di Indonesia sebagai pengungsi setelah kabur dari kejaran pasukan Nazi di Austria pada 1938. "Meski kami mengalami saat-saat amat sulit di sana, saya senang. Indonesia negeri indah. Saya benar-benar merasa seperti negara saya," kata perempuan 77 tahun ini kepada surat kabar The Jerusalem Post Desember 2010.

Bukan hanya Lehrer pernah merasakan atmosfer Indonesia. Sedikitnya ada 50 orang Yahudi di Israel juga mempunyai pengalaman serupa. Untuk berbagi kenangan, mereka membentuk perkumpulan pada 1995 disebut Tempo Dulu. Anggota termuda berusia 65 tahun.

Menurut Lehrer, mereka berkumpul paling sedikit satu atau dua kali setahun. Selain berbagi cerita, kegiatan lainnya adalah memasak makanan Indonesia, seperti rendang dan nasi rawon. Bahkan, kebanyakan anggota Tempo Dulu diketuai Lehrer ini masih mengetahui beberapa kata dalam bahasa Indonesia.

Lehrer dan anggota Tempo Dulu menjadi saksi serta bukti masyarakat Yahudi pernah menetap di Indonesia. Profesor Rotem Kowner dari Universitas Haifa, Israel, mengungkapkan orang Yahudi pertama bermukim di Indonesia adalah seorang saudagar dari Fustat, Mesir. "Dia meninggal di pelabuhan Barus, barat daya Sumatera, pada 1290," ujarnya. Sejak 2003, Kowner sudah meneliti sejarah komunitas Yahudi di Indonesia.

Dia yakin orang-orang Yahudi beragama Nasrani juga ikut dalam rombongan kapal Portugis mendarat di Nusantara pada awal abad ke-16. Mereka menetap di sekitar Selat Malaka, pantai utara Sumatera, dan Pulau Jawa.

Kedatangan orang-orang Yahudi ke Indonesia terus berlangsung seiring masuknya dua perusahaan Belanda: the Dutch East India Company (VOC) dan the Dutch West Indian Company (WIC) pada 1602. Salah satunya, prajurit Belanda kelahiran Ukraina, Leendert Miero (1755-1834), tiba pada 1775. Dia menjadi tuan tanah di Pondok Gede (sekarang daerah perbatasan antara Jakarta Timur dan Bekasi).

Setelah itu muncul Jacob Saphir (1822-1886), mampir selama tujuh pekan dalam perjalanannya ke Australia pada 1861. Pelancong Yahudi keturunan Rumania ini melaporkan terdapat sejumlah orang Yahudi di Batavia, Surabaya, dan Semarang. Namun tidak ditemukan komunitas Yahudi.

Saphir mencatat terdapat sedikitnya 20 keluarga Yahudi di Batavia merupakan keturunan Belanda dan Jerman. Mereka berprofesi sebagai pedagang, pegawai pemerintah, dan serdadu Hindia Belanda. Namun tidak ada sinagoge atau kuburan khusus orang Yahudi saat itu.

Pada 1921, penyandang dana Zionis, Israel Cohen, mendarat di Jawa dalam kunjungan lima hari. Dia memperkirakan saat itu terdapat sekitar dua ribu orang Yahudi tinggal di Pulau Jawa.

Komunitas Yahudi mulai muncul pada 1920-an dengan dibentuknya the Association for Jewish Interests in the Dutch East Indies dan the World Zionist Conference (WZC) memiliki cabang di Batavia, Bandung, Malang, Medan, Padang, Semarang, dan Yogyakarta. WZC berpusat di London ini berdiri pada 1920 dan merupakan organisasi pencari dana bagi gerakan Zionis. Muncul pula majalah bulanan Eretz Israel terbit di Padang sejak 1926 hingga ditutup oleh Jepang pada 1942.

Pemerintah Hindia Belanda pernah melakukan sensus pada 1930 menyebutkan terdapat 1.039 orang Yahudi. Kebanyakan tinggal di Jawa (lebih dari 85 persen), Sumatera (11 persen), dan di beberapa pulau (kurang dari empat persen). Menjelang Perang Pasifik (1941-1945), jumlah orang Yahudi di Indonesia mencapai puncaknya, yakni sekitar tiga ribu orang.

Kaum Yahudi di Indonesia ini terdiri dari tiga golongan. Pertama, orang-orang Yahudi berkewarganegaraan Belanda dipekerjakan oleh pemerintah kolonial sebagai penjaga toko, tentara, guru, dan dokter. Kelompok kedua adalah Yahudi Bagdadi berasal dari Irak, Yaman, dan negara lain di Timur Tengah. Mereka kebanyakan tinggal di Surabaya dan bekerja sebagai pengusaha ekspor-impor, penjaga toko, pedagang asongan, serta tukang kayu dan batu. Golongan ketiga adalah Yahudi pengungsi lari dari kejaran Nazi. Mereka dari Jerman, Austria, dan Eropa Timur.

Yahudi Bagdadi dikenal religius, bahkan banyak yang ultraortodoks. Sedangkan Yahudi Belanda sering berasimilasi walau tetap menjaga tradisi Yahudi. Beberapa di antaranya menyembunyikan identitas Yahudi mereka dan menikah dengan perempuan Kristen Eropa atau gadis Indonesia.

Secara ekonomi, orang-orang Yahudi ini hidup makmur. Mereka mempekerjakan orang-orang asli Indonesia sebagai pembantu, tukang masak, dan sopir. Pendapatan per kapita mereka 4.017 guilder ketimbang pribumi cuma 78 guilder. "Kami mempunyai sebuah mobil sport," kata Dr Eli Dwek pernah tinggal di Surabaya semasa kecil.

Setelah Indonesia merdeka, komunitas Yahudi mulai menurun. Menurut laporan Kongres Yahudi Sedunia (WJC) keluar beberapa hari setelah pengusiran orang-orang Belanda, terdapat sekitar 450 orang Yahudi di Indonesia pada November 1957. Enam tahun kemudian, jumlahnya terus merosot menjadi 50 orang. Kini diperkirakan hanya 20 orang.

Tapi sekarang mereka mulai bangkit, di antaranya dengan mendirikan UIJC (United Indonesian Jewish Community). Organisasi ini mencatat setidak ada dua ribu orang Indonesia keturunan Yahudi.

sumber:http://www.merdeka.com/

0 Komentar di Blogger
Silahkan Berkomentar Melalui Akun Facebook Anda
Silahkan Tinggalkan Komentar Anda
http://tusoh.blogspot.com/

0 komentar: