Menu

Senin, 03 Juni 2013

Kerjasama Dengan Rusia, Indonesia Bisa Jadi Macan Asia

http://theglobal-review.com/images/news/Dominasi%20Asing.png

Penulis : Agus Setiawan, Research Associate GFi dan Pegiat sosial politik dari Universitas Nasional


(Disampaikan dalam Roundtable Discussion yang diselenggarakan oleh Global Future Institute, bertema: Indonesia, Rusia dan G-20, Kamis 25 April 2013, di Wisma Daria, Jakarta Selatan)
 
Terkait dengan keberadaan G-20, sebenarnya G-20 ‘penjara’ untuk Indonesia. Indonesia terpenjara oleh perjanjian-perjanjian yang dibuat. Dan dalam penjara tersebut ada sipir-sipir yang bernama Amerika Serikat, Jerman, Inggris, dan lain sebagainya. Dengan kekayaan sumber daya alam yang sangat luar biasa, namun karena kuatnya dominasi negara-negara maju membuat Indonesia tidak bisa mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya alam tersebut. 

Dalam KTT G-20 yang akan berlangsung nanti, ada beberapa isu yang menarik. Yaitu mengenai keterbukaan perbankan. Menarik, karena dunia ini telah diatur oleh IMF dan World Bank. Jadi pada saat petani kita menyampaikan proposalnya ke perbankan maka informasinya pasti juga sampai ke World Bank ataupun IMF. Maka dunia pun menjadi tahu kondisi apa yang sedang dilakukan Indonesia. Mereka pun berupaya untuk melakukan pelemahan terhadap Indonesia.

Dan pelemahan tersebut dilakukan bukan dengan cara tidak diberikan pinjaman uang. Melainkan dengan sengaja memberikan pinjaman dana sebesar-besarnya. Karena memang mereka sudah mengenal karakter manusia Indonesia yang koruptif, maka diprediksi bahwa pinjaman uang diberikan tersebut akan dikorupsi, yang pada akhirnya akan memperlemah Indonesia untuk pengembalian pinjaman tersebut.

Misalnya saja, beberapa pelemahan yang dilakukan terhadap koperasi. Adanya korupsi yang dilakukan pada pinjaman dana oleh koperasi maka membuat beberapa koperasi tidak mampu mengembalikan pinjaman tersebut sehingga perlahan-lahan koperasi menjadi bangkrut. Dan satu persatu koperasi-koperasi di Indonesia bubar.

Negara barat tidak secara langsung menghancurkan koperasi melainkan melalui pinjaman dana tersebut. Perlahan koperasi-koperasi di Indonesia hancur maka pertanian pun berdampak mengalami kehancuran.

Belum Adanya Kesamaan Visi di antara Anggota BRICS

Sebenarnya kelompok negara-negara yang tergabung dalam BRICS mencoba untuk mengantisipasi kondisi seperti ini. Dimana BRICS mencoba membuat sistem perbankan sendiri, namun mengalami kebuntuan. Pertama, karena memang sistem ini dibangun secara kurang intens, selain memang usia mereka terbilang baru beberapa tahun berjalan. Sementara IMF dan World Bank sudah berusia puluhan tahun sehingga lebih kuat.

Kedua, sistem perbankan yang dibangun BRICS ini dilakukan secara G to G. Jadi dana yang digunakan adalah uang negara. Kalau dengan menggunakan uang negara ini dilakuan secara kurang intens, maka problemnya adalah saling mendahului siapa yang akan menggunakan dana tersebut. Dan belum adanya visi yang sepaham diantara sesama anggota BRICS dalam pemanfaatan sistem perbankan tersebut.

Kalau saja seandainya semacam konsep perbankan tandingan BRICS ini berjalan, dan Indonesia terlibat didalamnya, mungkin kondisinya akan menjadi berbeda. Maka sistem keuangan tidak dapat dikontrol oleh negara-negara barat. Terciptalah The Power of Money. Karena memang melalui konsep ‘ala BRICS inilah yang ditunggu, sehingga dunia tidak diatur secara dominan oleh negara-negara barat.  Satu contoh lagi yang bisa kita lihat adalah Grameen Bank di Bangladesh.
Setelah selama sepuluh tahun akhirnya berjalan berhasil. Mereka mampu membuat gedung sendiri dan membuat yang lainnya dengan dana sendiri. Tapi karena Bangladesh tidak memiliki sumber daya alam (resources) maka langkahnya pun akan menjadi terbatas. Bayangkan kalau seandainya Indonesia yang telah berhasil, Indonesia memiliki sumber daya yang kaya, minyak, batu bara, dan emas. Maka apapun bisa dibangun oleh Indonesia. Disinilah potensi Indonesia menjadi negara super power.

Jadi, apabila Indonesia mampu mengoptimalkan perannya di G-20 melalui kerjasama dengan Rusia maka kemungkinan Indonesia menjadi ‘Macan Asia’ bisa saja terwujud. Atau bahkan yaitu bisa saja sebagai super power. Karena memang belakangan ini Indonesia sudah sangat sering digadang-gadang. Misalnya tahun 2050 ekonomi Indonesia akan mampu melewati negara-negara Eropa. Sebenarnya penilaian ini bukanlah tanpa perhitungan, hal ini karena memang berdasarkan potensi yang dimiliki oleh Indonesia.

Sebetulnya G-20 bisa dijadikan sebagai momentum kuat mengangkat kedaulatan bagi Indonesia kalau adanya kepemimpinan yang tegas dan berani dalam mengambil sikap.

Indonesia Sebaiknya Kerjasama dengan Rusia dalam Teknologi Refinery

Misalnya saja kalau Indonesia mengambil sikap untuk bekerja sama dengan Rusia, seperti dalam bidang teknologi refinery, baik refinery minyak atau refinery CPO. Maka kondisi ini akan membuat gelisah negara Malaysia, bahkan world bank. Kenapa bisa begitu? Sekarang coba bayangkan saja, kalau kita produksi sawit atau CPO dengan harga jual sekitar US$ 400, akan tetapi setelah itu masuk tanker semua maka di dunia harganya sudah mencapai US$ 1.200. Begitu tinggi selisihnya. Bagi mereka yang memiliki kecukupan dana atau modal tidak perlu susah-susah, atau sampai pertempuran berdarah maka dengan mudah akan mendapatkan keuntungan hingga US$ 800.

Begitu pula seandainya Indonesia memiliki teknologi refinery sendiri. Keuntungan besar yang akan didapatkan Indonesia. Dahulu Indonesia sudah mencoba untuk membeli teknologi refinery untuk CPO tetapi Malaysia sudah cemas dan berusaha menghalangi. Karena memang pemimpin kita tidak berani, yah akhirnya tidak jadi juga. Sama halnya juga dengan minyak. Indonesia sebagai penghasil minyak besar akan tetapi melakukan impor minyak, ini sangatlah ajaib.

Dan ini letak masalahnya di bidang teknologi. Karena teknologi refinery yang dimiliki Indonesia ini dibuat bukan untuk minyak Indonesia. Oleh karena itu minyak Indonesia dibuatnya di Singapura dan di beberapa negara lainn. Beda halnya dengan Venezuela, teknologi refinery yang diciptakan memang untuk minyak mereka.

Ada apa sebenarnya yang terjadi?

Kondisi seperti ini harusnya sudah mampu menyadarkan Indonesia untuk tidak lagi disibukkan dengan masalah-masalah yang sebenarnya bisa dinomor-duakan. Seperti masalah demokrasi, ham, dan lain sebagainya. Indonesia harus memiliki visi baru bagaimana membangun kedaulatan bangsa Indonesia secara mandiri. Saatnya diperlukan adanya pemimpin yang berani dan tegas dalam mengambil kebijakan yang memang untuk kedaulatan negara dan kesejahteraan rakyat. DPR jangan lagi dapat dilemahkan oleh kepentingan-kepentingan asing melalui pembuatan peraturan dan undang-undangnya.

Dengan kekayaan minyak yang Indonesia miliki sudah saatnya Indonesia memiliki teknologi refinery yang dikhususkan untuk minyak Indonesia sehingga Indonesia tidak lagi menjadi pengimpor minyak.

Luasnya lahan pertanian yang ada di Indonesia bila dioptimalkan maka Indonesia tidak lagi menjadi pengimpor beras dan kedelai. Indonesia masih memiliki lahan 60 juta hektar yang belum termanfaatkan. Apabila diambil setengahnya saja, maka ada 30 juta hektar yang dapat dimanfaatkan untuk produk-produk pertanian. Dari sana mampu menarik sekitar 50 juta lebih tenaga kerja, kalau sudah seperti itu maka tidak ada lagi orang-orang Indonesia yang menjadi TKI di negeri orang. Dan bahkan tidak ada lagi orang Indonesia yang menganggur.

Kemudian bila kita melihat anggaran dalam APBN yang digunakan untuk pembelian senjata sebesar 250 triliun, bisa kita bayangkan kalau saja 10 persennya digunakan untuk membuat kluster pangan, membangun sawah, memproduksi kedelai, apakah itu tidak membuat gelisah negara-negara seperti Malaysia dan Singapura? Sebenarnya tidak perlu peluru dan senjata untuk menghadapi Malaysia dan Singapura, cukup dengan cara seperti ini saja. Kalau saja kita bangun kota di Trans Kalimantan, maka Serawak, Sabah, Brunei, dan Singapura akan sangat ‘terganggu’.

Apabila Indonesia sudah suplus pangan, dan kemudian membangun sistem keuangan perbankan sendiri maka kita akan mandiri. Dan disitulah kemungkinan Indonesia siap untuk menjadi negara super power.

Saya ingin memberikan gambaran. Dahulu, ketika Hitler berkuasa, dalam waktu lima tahun Jeman langsung menjadi the power of economy dunia. Jerman sangat berkuasa, rakyatnya makmur, dan Jerman memasuki masa keemasannya. Ketika Jerman sudah kuat, sudah mencapai puncak kejayaannya, kembali Jerman digirng dalam Perang Dunia kedua. Dan pada akhirnya Jerman kembali hancur ekonominya.

Dalam kondisi kehancuran ekonomi Jerman, Amerika menyodorkan bantuan ekonominya dan tentunya tidak secara cuma-cuma. Disini kedaulatan negara Jerman sendiri yang menjadi jaminannya. Kondisi ini sebenarnya sama dengan pada saat Amerika Serikat masuk ke Irak, Afghanistan Libya dan lain-lainnya. Di saat itulah masuknya IMF dan World Bank.

Kemudian bila melihat perkembangan krisis Cina Selatan dengan begitu tingginya transaksi penjualan senjata, 'dikasihnya’ Korea Utara membuat nuklir, sebenarnya disini ada faktor kesengajaan. Karena dalam kondisi seperti ini maka muncullah perlombaan senjata, yang pada akhirnya akan sangat menguntungkan mereka-mereka yang berperan sebagai produsen senjata. Dengan adanya perlombaan senjata maka akan berpengaruh pada perekonomian, dan ujung-ujungnya maka akan dibuka kembali peluang untuk berhutang.

Disinilah intinya, ketika negara akan mencapai kemajuan, maka negara-negara barat berusaha untuk menghancurkannya.

Persoalannya sekarang bagaimana kita mampu mengarahkan pemerintah membangun komitmen dalam menjalankan visi baru tersebut. Atau melanggar peraturan yang sudah ada, kemudian ambil sikap. Baik mengenai teknologi dan kerjasama strategis lainnya. Beranikah pemerintah melakukannya? Kalau pemerintahnya tidak berani, maka apakah rakyatnya berani untuk mendorong pemerintah supaya menjalankan komitmen tersebut?

Jadi kalau Indonesia tidak memiliki visi yang jelas, maka G-20 ini hanyalah sebagai penjara dan tidak ada sama sekali manfaatnya. Dan justeru sangat merugikan. Karena disini kita dipaksa untuk lebih terbuka mengenai masalah perbankan. Dan kita lebih dipaksa lagi oleh  IMF dan World Bank supaya bisa masuk lebih jauh lagi ke Indonesia. Inikan namanya bunuh diri, dapur Indonesia diacak-acak. Karena memang Bank Indonesia adalah jantungnya Indonesia. Kalau IMF dan World Bank bisa masuk dengan leluasa dan lebih jauh maka seluruh kegiatan ekonomi dan perusahaan-perusahaan di Indonesia bisa dilemahkan.

Kiranya sudah sangatlah pas apa yang dikatakan oleh Bung Karno untuk melakukan kerjasama strategis dengan Rusia dan Cina. Indonesia janganlah terjebak oleh kerjasama-kerjasama yang sifatnya berorientasi power sebagai dominasi. Tetapi sudah saatnya bagaimana Indonesia membangun kerjasama untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Karena memang di dunia ini hanya ada dua ideologi, yaitu ideologi yang mensejahterakan manusia dan ideologi yang menyengsarakan manusia. Jadi tinggal dipilih, Indonesia masuk G-20 ini ikut ideologi yang mana?  

sumber:http://theglobal-review.com

0 Komentar di Blogger
Silahkan Berkomentar Melalui Akun Facebook Anda
Silahkan Tinggalkan Komentar Anda
http://tusoh.blogspot.com/

0 komentar: