Majalah
Foreign Policy milik dewan kebijakan luar negeri Amerika Serikat
menulis, Geneva Abdo, salah satu pakar Brookings Institution dalam
laporannya bulan lalu mengatakan bahwa perpecahan antara Sunni dan Syiah
telah menggantikan perang besar antar Islam dan Barat, dan juga
berpotensi sebagai faktor utama dalam memobilisasi kehidupan politik di
dunia Arab.
Krisis
Suriah telah berlangsung lebih dari dua tahun. Krisis yang menimbulkan
berbagai dimensi luas itu terjadi akibat dukungan finansial dan senjata
dari Amerika Serikat, Barat dan sekutu regional mereka seperti Turki,
Qatar dan Arab Saudi. Kelompok-kelompok bersenjata di Suriah yang
disponsori oleh Barat dan Arab tidak henti-hentinya melakukan kejahatan
kemanusiaan untuk menggapai tujuan-tujuan ilegal mereka.
Sejak awal, kubu oposisi Suriah terpengaruh dengan transformasi politik di Timur Tengah dan Afrika seperti yang terjadi di Tunisia, Mesir dan Libya di mana rakyat di negara-negara itu bangkit melawan para penguasa despotik. Atas dalih tersebut, kelompok-kelompok oposisi bersenjata di Suriah berupaya menggulingkan pemerintahan legal Damaskus. Namun perlawanan militer dan rakyat Suriah telah menggagalkan upaya mereka. Akibat kegagalan para militan untuk menggulingkan pemerintahan Presiden Suriah Bashar al-Assad, muncul berbagai upaya dan justifikasi untuk menyiapkan intervensi militer di negara Arab itu.
Salah satu upaya dan justifikasi itu adalah propaganda media terkait meluasnya perang sektarian di Suriah akibat pelecehan kelompok Salafi terhadap tempat-tempat suci umat Islam. Musuh-musuh Damaskus berusaha mengubah krisis buatan Barat dan Arab di Suriah menjadi perang sektarian. Mereka menciptakan opini adanya konflik antara Syiah (Alawi) dan Sunni. Dengan cara ini, mereka dapat menciptakan banyak peluang untuk memperparah krisis di negara itu. Meningkatnya penodaan terhadap tempat-tempat suci oleh kelompok Wahabi takfiri dapat dinilai sebagai upaya untuk menarik opini publik bahwa krisis di Suriah adalah sebuah perang sektarian.
Gagalnya Barat untuk melegitimasi krisis buatan di Suriah di bawah kedok demokrasi dan kebebasan menyebabkan mereka mencari strategi lain untuk menggulingkan pemerintahan Assad. Perluasan konflik sektarian dan pelanggaran serius terhadap Hak Asasi Manusia untuk mempengaruhi opini umum menjadi satu-satunya strategi yang tersisa bagi Barat untuk melanggengkan dominasinya. Artinya, setiap kali Barat menghadapi pelanggaran luas dan terorganisir terhadap HAM dan langkah damai yang diambil tidak berpengaruh, mereka kemudian mengambil langkah berikutnya yaitu intervensi militer di bawah kedok dukungan masyarakat internasional.
Strategi tersebut telah memperluas dimensi krisis Suriah dan menggagalkan upaya pihak penengah untuk menggelar dialog politik. Meski mayoritas negara-negara dunia menegaskan perlunya solusi politik dalam menyelesaikan krisis di Suriah, namun Perancis, Inggris dan Amerika Serikat bersikap sebaliknya. Mereka berusaha mempersenjatai oposisi dengan senjata-senjata berat. Untuk merealisasikan tujuan-tujuannya di Suriah, Amerika Serikat dan sekutunya memerlukan peristiwa-peristiwa tragis di negara Arab itu supaya tampak sebagai perang etnis dan sektarian. Dengan demikian, tak aneh jika Barat dan AS berusaha menggunakan semua kesempatan yang ada untuk meraih ambisi mereka itu.
Kelompok-kelompok Salafi takfiri menjadi kelompok yang paling siap untuk merealisasikan ambisi Barat dan Arab di Suriah. Kelompok-kelompok ekstrim inilah yang selama ini menjadi penyebab utama timbulnya konflik di negara-negara Islam, karena menurut pandangan mereka, segala bentuk keyakinan yang berbeda dengan mereka baik itu mazhab, falsafah, politik dan irfan maka dianggap kafir. Mengingat masyarakat di Suriah terdiri dari beragam mazhab dan etnis serta adanya konspirasi asing yang terus menarget negara ini, maka munculnya pemikiran takfiri itu di Suriah akan menimbulkan tragedi yang mengerikan.
Isu konflik Sunni dan Syiah di Suriah menjadi kesempatan emas bagi Salafi takfiri untuk mengobarkan perang di negara itu. Isu perang sektarian di Suriah juga menjadi kesempatan bagi Barat untuk menyembunyikan kerjasamanya dengan kelompok-kelompok teroris yang berafiliasi dengan al-Qaeda. Selain itu, rezim Zionis Israel sebagai sekutu AS juga mendapat keuntungan banyak dari isu tersebut.
Krisis di Suriah telah menghapus kekhawatiran para pejabat rezim Zionis untuk mengembalikan Dataran Tinggi Golan yang diduduki kepada Damaskus. Selain itu jika Suriah hancur dan terbagi-bagi, dan konflik sektarian yang disulut terjadi maka Israel akan dapat dengan mudah memperluas konflik itu ke seluruh kawasan di Timur Tengah dan memperluas dominasinya. Jika Suriah selalu dilanda perang maka semua kawasan akan tidak aman. Dengan kata lain, Timur Tengah yang lemah dan porak poranda akan sangat menguntungkan Israel, dan sebaliknya, Timur Tengah yang aman, makmur dan bersatu akan menjadi mimpi buruk bagi Tel Aviv.
Daniel Pipes, seorang penulis Amerika dan pendukung Zionis dalam ulasannya terkait kebijakan Israel di Suriah menulis, ketika pasukan setan saling serang, bahaya yang mengancam kita akan berkurang dan hal ini menyenangkan mereka. Mereka tidak akan membiarkan salah satu pihak meraih kemenangan. Kekuatan-kekuatan Barat harus membantu salah satu pihak yang akan kalah supaya konflik terus berlangsung dan akan mengantarkan mereka kepada kebuntuan.
Menurut pandangan Zionis, kelompok takfiri selalu bertindak untuk merusak citra Islam sehingga Israel memperalat mereka untuk maraih ambisinya. Tindakan-tindakan Salafi takfiri juga selaras dengan Islamphobia. Kelompok-kelompok Salafi takfiri meyakini bahwa mereka adalah umat islam hakiki dan umat Islam lainnya adalah kafir dan harus dibunuh. Kelompok-kelompok takfiri seperti al-Qaeda telah banyak membunuh umat Islam tetapi mereka tidak pernah menyerang kepentingan-kepentingan rezim Zionis. Tumbuh dan berkembangnya Salafi takfiri dan aktivitas luas al-Qaeda di Suriah dan negara-negara Islam lainnya seperti Irak, Lebanon, Yaman, Libya dan berbagai negara Islam lainnya tidak terlepas dari dukungan sejumlah negara Barat dan Arab.
Tujuan makro Amerika dan sekutunya untuk menyulut konflik sektarian di negara-negara Islam adalah memecah belah dan membagi negara-negara ini. Pembagian berbagai negara Islam menjadi negara-negara kecil akan berubah menjadi krisis permanen di Timur Tengah dan melupakan opini publik umat Islam terhadap bahaya dan ancaman Israel dan Amerika di wilayah yang strategis tersebut.
Geneva Abdo, salah satu pakar Brookings Institution dalam laporannya yang dimuat di majalah Foreign Policybulan lalu mengatakan, perpecahan antara Sunni dan Syiah telah menggantikan perang besar antar Islam dan Barat, dan juga berpotensi sebagai faktor utama dalam memobilisasi kehidupan politik dunia Arab.
Robert Fisk, analis terkemuka surat kabar The Independent cetakan Inggris dalam sebuah artikel dengan tema "Barat dan Pembagian Timur Tengah" menyinggung tujuan-tujuan Barat dan upaya untuk mengobarkan konflik etnis dan sektarian. Ia memulai tulisannya dengan sebuah pertanyaan: mengapa Barat selalu berusaha membagi Timur Tengah? Mengapa kita (Barat) selalu berupaya membagi bangsa-bangsa di kawasan dan menggunakan berbagai cara untuk menyuntikkan keyakinan bahwa jarak, perbedaan dan perpecahan berkuasa di antara mereka? Bukankah kebijakan ini merupakan salah satu bentuk tidak formal dari rasisme Barat? Mungkin juga definisi kebijakan ini lebih luas dari rasisme dan lebih luas dari dominasi gelap terhadap ruh dan jiwa Barat.
Robert Fisk terkait pertanyaan-pertanyaan tersebut menulis, jika kita melihat peta Timur Tengah yang tersebar di surat kabar dan media Barat maka kita sepenuhnya akan merasakan adanya upaya di Barat untuk membagi Timur Tengah. Misalnya, di wilayah-wilayah tertentu Irak dibagi dengan berbagai warna. Syiah di sebelah selatan, Ahlu Sunnah di pusat dan Kurdi di utara. Peta Irak di banyak surat kabar dan media Barat ditandai dengan bentuk segi delapan dan diwarnai dengan berbagai warna tertentu. Sementara peta Lebanon lebih beragam lagi: Syiah berada di selatan Lebanon dan selatan kota Beirut, sementara etnis Druze di utara. Sedangkan Sunni berada di Sidon, pantai selatan Beirut, pusat Beirut dan utara Lebanon.
Dalam analisa itu disebutkan pula bahwa fakta yang tidak dapat dibantah adalah Barat tidak puas hanya dengan penyebaran peta-peta itu dan memperbesar konflik. Kami menyukai peta dan pembagian ini, sebab hal itu menjadi cara terbaik untuk memperluas konflik, fitnah dan kebencian di antara etnis yang berbeda di kawasan.
Pernyataan-pernyataan tersebut menunjukkan bahwa Amerika dan Barat tidak sedang berusaha mencari perdamaian dan stabilitas di Timur Tengah, tetapi tujuan utama mereka adalah mengobarkan konflik etnis dan sektarian sebagai upaya untuk membagi negara-negara di kawasan menjadi negara-negara kecil dan lemah. Amat disayangkan, sejumlah negara dan kelompok di Timur Tengah telah terperosok ke dalam perangkap musuh padahal mereka termasuk dari target Amerika Serikat dan Israel. (TGR/IRIB indonesia)
Sejak awal, kubu oposisi Suriah terpengaruh dengan transformasi politik di Timur Tengah dan Afrika seperti yang terjadi di Tunisia, Mesir dan Libya di mana rakyat di negara-negara itu bangkit melawan para penguasa despotik. Atas dalih tersebut, kelompok-kelompok oposisi bersenjata di Suriah berupaya menggulingkan pemerintahan legal Damaskus. Namun perlawanan militer dan rakyat Suriah telah menggagalkan upaya mereka. Akibat kegagalan para militan untuk menggulingkan pemerintahan Presiden Suriah Bashar al-Assad, muncul berbagai upaya dan justifikasi untuk menyiapkan intervensi militer di negara Arab itu.
Salah satu upaya dan justifikasi itu adalah propaganda media terkait meluasnya perang sektarian di Suriah akibat pelecehan kelompok Salafi terhadap tempat-tempat suci umat Islam. Musuh-musuh Damaskus berusaha mengubah krisis buatan Barat dan Arab di Suriah menjadi perang sektarian. Mereka menciptakan opini adanya konflik antara Syiah (Alawi) dan Sunni. Dengan cara ini, mereka dapat menciptakan banyak peluang untuk memperparah krisis di negara itu. Meningkatnya penodaan terhadap tempat-tempat suci oleh kelompok Wahabi takfiri dapat dinilai sebagai upaya untuk menarik opini publik bahwa krisis di Suriah adalah sebuah perang sektarian.
Gagalnya Barat untuk melegitimasi krisis buatan di Suriah di bawah kedok demokrasi dan kebebasan menyebabkan mereka mencari strategi lain untuk menggulingkan pemerintahan Assad. Perluasan konflik sektarian dan pelanggaran serius terhadap Hak Asasi Manusia untuk mempengaruhi opini umum menjadi satu-satunya strategi yang tersisa bagi Barat untuk melanggengkan dominasinya. Artinya, setiap kali Barat menghadapi pelanggaran luas dan terorganisir terhadap HAM dan langkah damai yang diambil tidak berpengaruh, mereka kemudian mengambil langkah berikutnya yaitu intervensi militer di bawah kedok dukungan masyarakat internasional.
Strategi tersebut telah memperluas dimensi krisis Suriah dan menggagalkan upaya pihak penengah untuk menggelar dialog politik. Meski mayoritas negara-negara dunia menegaskan perlunya solusi politik dalam menyelesaikan krisis di Suriah, namun Perancis, Inggris dan Amerika Serikat bersikap sebaliknya. Mereka berusaha mempersenjatai oposisi dengan senjata-senjata berat. Untuk merealisasikan tujuan-tujuannya di Suriah, Amerika Serikat dan sekutunya memerlukan peristiwa-peristiwa tragis di negara Arab itu supaya tampak sebagai perang etnis dan sektarian. Dengan demikian, tak aneh jika Barat dan AS berusaha menggunakan semua kesempatan yang ada untuk meraih ambisi mereka itu.
Kelompok-kelompok Salafi takfiri menjadi kelompok yang paling siap untuk merealisasikan ambisi Barat dan Arab di Suriah. Kelompok-kelompok ekstrim inilah yang selama ini menjadi penyebab utama timbulnya konflik di negara-negara Islam, karena menurut pandangan mereka, segala bentuk keyakinan yang berbeda dengan mereka baik itu mazhab, falsafah, politik dan irfan maka dianggap kafir. Mengingat masyarakat di Suriah terdiri dari beragam mazhab dan etnis serta adanya konspirasi asing yang terus menarget negara ini, maka munculnya pemikiran takfiri itu di Suriah akan menimbulkan tragedi yang mengerikan.
Isu konflik Sunni dan Syiah di Suriah menjadi kesempatan emas bagi Salafi takfiri untuk mengobarkan perang di negara itu. Isu perang sektarian di Suriah juga menjadi kesempatan bagi Barat untuk menyembunyikan kerjasamanya dengan kelompok-kelompok teroris yang berafiliasi dengan al-Qaeda. Selain itu, rezim Zionis Israel sebagai sekutu AS juga mendapat keuntungan banyak dari isu tersebut.
Krisis di Suriah telah menghapus kekhawatiran para pejabat rezim Zionis untuk mengembalikan Dataran Tinggi Golan yang diduduki kepada Damaskus. Selain itu jika Suriah hancur dan terbagi-bagi, dan konflik sektarian yang disulut terjadi maka Israel akan dapat dengan mudah memperluas konflik itu ke seluruh kawasan di Timur Tengah dan memperluas dominasinya. Jika Suriah selalu dilanda perang maka semua kawasan akan tidak aman. Dengan kata lain, Timur Tengah yang lemah dan porak poranda akan sangat menguntungkan Israel, dan sebaliknya, Timur Tengah yang aman, makmur dan bersatu akan menjadi mimpi buruk bagi Tel Aviv.
Daniel Pipes, seorang penulis Amerika dan pendukung Zionis dalam ulasannya terkait kebijakan Israel di Suriah menulis, ketika pasukan setan saling serang, bahaya yang mengancam kita akan berkurang dan hal ini menyenangkan mereka. Mereka tidak akan membiarkan salah satu pihak meraih kemenangan. Kekuatan-kekuatan Barat harus membantu salah satu pihak yang akan kalah supaya konflik terus berlangsung dan akan mengantarkan mereka kepada kebuntuan.
Menurut pandangan Zionis, kelompok takfiri selalu bertindak untuk merusak citra Islam sehingga Israel memperalat mereka untuk maraih ambisinya. Tindakan-tindakan Salafi takfiri juga selaras dengan Islamphobia. Kelompok-kelompok Salafi takfiri meyakini bahwa mereka adalah umat islam hakiki dan umat Islam lainnya adalah kafir dan harus dibunuh. Kelompok-kelompok takfiri seperti al-Qaeda telah banyak membunuh umat Islam tetapi mereka tidak pernah menyerang kepentingan-kepentingan rezim Zionis. Tumbuh dan berkembangnya Salafi takfiri dan aktivitas luas al-Qaeda di Suriah dan negara-negara Islam lainnya seperti Irak, Lebanon, Yaman, Libya dan berbagai negara Islam lainnya tidak terlepas dari dukungan sejumlah negara Barat dan Arab.
Tujuan makro Amerika dan sekutunya untuk menyulut konflik sektarian di negara-negara Islam adalah memecah belah dan membagi negara-negara ini. Pembagian berbagai negara Islam menjadi negara-negara kecil akan berubah menjadi krisis permanen di Timur Tengah dan melupakan opini publik umat Islam terhadap bahaya dan ancaman Israel dan Amerika di wilayah yang strategis tersebut.
Geneva Abdo, salah satu pakar Brookings Institution dalam laporannya yang dimuat di majalah Foreign Policybulan lalu mengatakan, perpecahan antara Sunni dan Syiah telah menggantikan perang besar antar Islam dan Barat, dan juga berpotensi sebagai faktor utama dalam memobilisasi kehidupan politik dunia Arab.
Robert Fisk, analis terkemuka surat kabar The Independent cetakan Inggris dalam sebuah artikel dengan tema "Barat dan Pembagian Timur Tengah" menyinggung tujuan-tujuan Barat dan upaya untuk mengobarkan konflik etnis dan sektarian. Ia memulai tulisannya dengan sebuah pertanyaan: mengapa Barat selalu berusaha membagi Timur Tengah? Mengapa kita (Barat) selalu berupaya membagi bangsa-bangsa di kawasan dan menggunakan berbagai cara untuk menyuntikkan keyakinan bahwa jarak, perbedaan dan perpecahan berkuasa di antara mereka? Bukankah kebijakan ini merupakan salah satu bentuk tidak formal dari rasisme Barat? Mungkin juga definisi kebijakan ini lebih luas dari rasisme dan lebih luas dari dominasi gelap terhadap ruh dan jiwa Barat.
Robert Fisk terkait pertanyaan-pertanyaan tersebut menulis, jika kita melihat peta Timur Tengah yang tersebar di surat kabar dan media Barat maka kita sepenuhnya akan merasakan adanya upaya di Barat untuk membagi Timur Tengah. Misalnya, di wilayah-wilayah tertentu Irak dibagi dengan berbagai warna. Syiah di sebelah selatan, Ahlu Sunnah di pusat dan Kurdi di utara. Peta Irak di banyak surat kabar dan media Barat ditandai dengan bentuk segi delapan dan diwarnai dengan berbagai warna tertentu. Sementara peta Lebanon lebih beragam lagi: Syiah berada di selatan Lebanon dan selatan kota Beirut, sementara etnis Druze di utara. Sedangkan Sunni berada di Sidon, pantai selatan Beirut, pusat Beirut dan utara Lebanon.
Dalam analisa itu disebutkan pula bahwa fakta yang tidak dapat dibantah adalah Barat tidak puas hanya dengan penyebaran peta-peta itu dan memperbesar konflik. Kami menyukai peta dan pembagian ini, sebab hal itu menjadi cara terbaik untuk memperluas konflik, fitnah dan kebencian di antara etnis yang berbeda di kawasan.
Pernyataan-pernyataan tersebut menunjukkan bahwa Amerika dan Barat tidak sedang berusaha mencari perdamaian dan stabilitas di Timur Tengah, tetapi tujuan utama mereka adalah mengobarkan konflik etnis dan sektarian sebagai upaya untuk membagi negara-negara di kawasan menjadi negara-negara kecil dan lemah. Amat disayangkan, sejumlah negara dan kelompok di Timur Tengah telah terperosok ke dalam perangkap musuh padahal mereka termasuk dari target Amerika Serikat dan Israel. (TGR/IRIB indonesia)