Penulis : Hendrajit, Direktur Eksekutif Global Future Institute
Dan
saya juga tidak akan lupa, bahwa kolonialis Belanda dan Inggris masih
membina keturunan kader Van Mook dari Angkatan 1947 yang pada saat ini
pasti ada dalam jumlah yang cukup besar. Mereka itu malahan berada di
lapisan atas masyarakat kita. Mungkin bahkan mereka berada di dalam
kelompok pengedar besar Narkoba (Mayor Jenderal purnawirawan Hario
Kecik).
Pemilu
2014 mungkin juga dipikirkan oleh Belanda dan Inggris. Mereka
berkepntingan mendekati kelompok politik yang akan menang dan menguasai
Pemerintah RI. Belanda an Inggris masih tetap mempunyai minat besar
untuk mendapatkan konsesi minyak bumi dari pemerintah baru di Indonesia.
Karena itu agen agen subversif mereka akan dikerahkan untuk mencapai
tujuannya.
Besar kemungkinan, inilah yang bisa menjelaskan latarbelakang mengapa SBY dan Chief Executive Officer Royal Dutch Shell mengadakan perundingan beberapa waktu berselang. Sepertinya Inggris dan Belanda punya kepentingan yang sama untuk mengeksploitasi secara besar-besaran ladang Gas Bumi Masela di Maluku.
Persekutuan Inggris-Belanda nampaknya sama berbahayanya dengan persekutuan tradisional AS-Inggris.
Pada 1957, ketika Bung Karno mulai melancarkan nasinalisasi perusahaan-perusahaan asing, Inggris terlibat dalam campur-tangan pengambil-alihan perusahaan minyak Belanda Bataafsche Petroleum Maatschappij (BPM). Inggris menggunakan perusahaan SHELL yang sejatinya satu dengan BPM untuk merekayasa supaya kantor-kantornya dengan ladang-ladang minyaknya BPM di Kalimtantan Timur aman dari nasionalisasi yang dilancarkan pemerintah Bung Karno pada 1957. Nama BPM dihapus di Kaltim dan diganti dengan nama SHELL.
Tidak heran jika Bung Karno pada 1950 tetap mengatakan REVOLUSI BELUM SELESAI, meski Indonesia sudah merdeka selama 5 tahun. Sebab orang-orang Indonesia belum merdeka dari segi penguasaan dan kepemilikan pilar-pilar ekonomi dan sumberdaya alam. Selain Shell yang saya sebutkan tadi, beberapa perusahaan multi-nasional AS seperti Stanvac dan Caltex praktis masih menguasai industri minyak Indonesia.
Bahkan Belanda sebagai negara eks penjajah, kala itu masih menguasai sektor pelayaran melalui Koninklijke Paketvaart Maatschappij (KPM). Begitu juga sektor perbankan didomininasi oleh kepentingan-kepentingan Belanda, Inggris dan Cina. Bukan itu saja. Bahkan beberapa harian terkemuka Indonesia saat itu memberitakan mengenai kekuasaan besar Big Five lima perusahaan besar Belanda seperti: Lindeteves, Borsumij, Geo Wehry, Jacobson van den Berg dan Internatio.
Bahkan ketika Belanda mulai memperbaiki hubungan baiknya dengan Indonesia sejak Suharto mengambil-alih kekuasaan dari tangan Bung Karno, dan memprakarsai beberapa negara untuk memberikan bantuan kepada Indonesia melalui Skema International Government Group on Indonesia (IGGI) yang diketuai oleh Belanda, watak Belanda untuk mengatur-atur Indonesia bahkan tidak berubah.
Pada satu sisi IGGI memang sebuah indikasi dari membaiknya hubungan Indonesia dan Belanda. Apalagi ketika investasi-investasi Belanda di Indonesia mendapat sambutan baik dari Pemerintahan Suharto. Namun ketika Menteri Jan Pronk, yang kala itu merupakan representasi Belanda dalam IGGI, mulai bersikap aneh-aneh dan mirip kelakuan inspektur jenderal kolonia Belanda ketika berkunjung ke Indonesia, dan menguliahi berbagai elemen masyarakat tentang Hak-Hak Asasi Manusia demokrasi, tiba tiba kalangan pemerintah maupun masyarakat yang masih berhaluan nasionalis mulai tersadar, bahwa kelakuan Belanda sebagai kolonialis masih tetap tidak berobah. Sehingga opini publik mulai antipasti terhadap Menteri Pronk. Apalagi sosok Pronk yang terkesan intelektual dan angkuh, semakin memicu rasa antipasti berbagai kalangan baik pemerintahan Suharto maupun masyarakat yang pada dasarnya masih berhaluan nasionalis.
Mereka berpandangan bahwa Belanda tak beda dengan AS maupun negara-negara Uni Eropa lainnya, yang menggunakan isu HAM dan Demokrasi untuk dipolitisasi sebagai alat tekan kepada pemerintah Indoensia. Karena sudah kelewatan, akhirnya pemerintah Suharto membubarkan IGGI, dan meminta Bank Dunia untuk mengambil-alih pimpinan untuk mengorganisir pemberian bantuan kepada Indonesia. Itulah yang kemudian IGGI berobah kulit jadi Consultative Group on Indonesia (CGI).
Persekongkolah Belanda dan Inggris waktu itu, melibatkan agen-agen lokal kita yang kebetulan berada di jajaran posisi strategis birokrasi pemerintahan. Seperti yang diutarakan oleh Mayor Jendral (purn) Hario Kecik, jaringan korporasi Belanda-Inggris tersebut disinyalir masih membina KETURUNAN VAN MOOK dari angkatan 1947 yang pada saat ini pasti ada dalam jumlah yang cukup besar. Bahkan menurut Pak Hario Kecik, mereka ini malahan berada di lapisan atas masyarakat kita. Mungkin bahkan mereka berada di dalam kelompok pengedar narkoba.
Maka itu, sebagai konsekwensi logis untuk memberantas jaringan neo-kolonialisme dan imperialisme dari jaringan Belanda-Inggris tersebut, perlu disusun program pembersihan jaringan tersebut sampai ke akar-akarnya baik di bidang kebudayaan, ekonomi dan intelijen.
Besar kemungkinan, inilah yang bisa menjelaskan latarbelakang mengapa SBY dan Chief Executive Officer Royal Dutch Shell mengadakan perundingan beberapa waktu berselang. Sepertinya Inggris dan Belanda punya kepentingan yang sama untuk mengeksploitasi secara besar-besaran ladang Gas Bumi Masela di Maluku.
Persekutuan Inggris-Belanda nampaknya sama berbahayanya dengan persekutuan tradisional AS-Inggris.
Pada 1957, ketika Bung Karno mulai melancarkan nasinalisasi perusahaan-perusahaan asing, Inggris terlibat dalam campur-tangan pengambil-alihan perusahaan minyak Belanda Bataafsche Petroleum Maatschappij (BPM). Inggris menggunakan perusahaan SHELL yang sejatinya satu dengan BPM untuk merekayasa supaya kantor-kantornya dengan ladang-ladang minyaknya BPM di Kalimtantan Timur aman dari nasionalisasi yang dilancarkan pemerintah Bung Karno pada 1957. Nama BPM dihapus di Kaltim dan diganti dengan nama SHELL.
Tidak heran jika Bung Karno pada 1950 tetap mengatakan REVOLUSI BELUM SELESAI, meski Indonesia sudah merdeka selama 5 tahun. Sebab orang-orang Indonesia belum merdeka dari segi penguasaan dan kepemilikan pilar-pilar ekonomi dan sumberdaya alam. Selain Shell yang saya sebutkan tadi, beberapa perusahaan multi-nasional AS seperti Stanvac dan Caltex praktis masih menguasai industri minyak Indonesia.
Bahkan Belanda sebagai negara eks penjajah, kala itu masih menguasai sektor pelayaran melalui Koninklijke Paketvaart Maatschappij (KPM). Begitu juga sektor perbankan didomininasi oleh kepentingan-kepentingan Belanda, Inggris dan Cina. Bukan itu saja. Bahkan beberapa harian terkemuka Indonesia saat itu memberitakan mengenai kekuasaan besar Big Five lima perusahaan besar Belanda seperti: Lindeteves, Borsumij, Geo Wehry, Jacobson van den Berg dan Internatio.
Bahkan ketika Belanda mulai memperbaiki hubungan baiknya dengan Indonesia sejak Suharto mengambil-alih kekuasaan dari tangan Bung Karno, dan memprakarsai beberapa negara untuk memberikan bantuan kepada Indonesia melalui Skema International Government Group on Indonesia (IGGI) yang diketuai oleh Belanda, watak Belanda untuk mengatur-atur Indonesia bahkan tidak berubah.
Pada satu sisi IGGI memang sebuah indikasi dari membaiknya hubungan Indonesia dan Belanda. Apalagi ketika investasi-investasi Belanda di Indonesia mendapat sambutan baik dari Pemerintahan Suharto. Namun ketika Menteri Jan Pronk, yang kala itu merupakan representasi Belanda dalam IGGI, mulai bersikap aneh-aneh dan mirip kelakuan inspektur jenderal kolonia Belanda ketika berkunjung ke Indonesia, dan menguliahi berbagai elemen masyarakat tentang Hak-Hak Asasi Manusia demokrasi, tiba tiba kalangan pemerintah maupun masyarakat yang masih berhaluan nasionalis mulai tersadar, bahwa kelakuan Belanda sebagai kolonialis masih tetap tidak berobah. Sehingga opini publik mulai antipasti terhadap Menteri Pronk. Apalagi sosok Pronk yang terkesan intelektual dan angkuh, semakin memicu rasa antipasti berbagai kalangan baik pemerintahan Suharto maupun masyarakat yang pada dasarnya masih berhaluan nasionalis.
Mereka berpandangan bahwa Belanda tak beda dengan AS maupun negara-negara Uni Eropa lainnya, yang menggunakan isu HAM dan Demokrasi untuk dipolitisasi sebagai alat tekan kepada pemerintah Indoensia. Karena sudah kelewatan, akhirnya pemerintah Suharto membubarkan IGGI, dan meminta Bank Dunia untuk mengambil-alih pimpinan untuk mengorganisir pemberian bantuan kepada Indonesia. Itulah yang kemudian IGGI berobah kulit jadi Consultative Group on Indonesia (CGI).
Persekongkolah Belanda dan Inggris waktu itu, melibatkan agen-agen lokal kita yang kebetulan berada di jajaran posisi strategis birokrasi pemerintahan. Seperti yang diutarakan oleh Mayor Jendral (purn) Hario Kecik, jaringan korporasi Belanda-Inggris tersebut disinyalir masih membina KETURUNAN VAN MOOK dari angkatan 1947 yang pada saat ini pasti ada dalam jumlah yang cukup besar. Bahkan menurut Pak Hario Kecik, mereka ini malahan berada di lapisan atas masyarakat kita. Mungkin bahkan mereka berada di dalam kelompok pengedar narkoba.
Maka itu, sebagai konsekwensi logis untuk memberantas jaringan neo-kolonialisme dan imperialisme dari jaringan Belanda-Inggris tersebut, perlu disusun program pembersihan jaringan tersebut sampai ke akar-akarnya baik di bidang kebudayaan, ekonomi dan intelijen.
----------
Rujukan Pembanding:
1. Hario Kecik, Dari Bung Karno Hingga Jokowi, Pemikiran Militer Hario Kecik (Catatan November 2011-September 2012. Yogyakarta: Penerbit Abhiseka Dipantara, 2013.
2. Rosihan Anwar, Singa dan Banteng, Sejarah Hubungan Belanda-Indonesia 1945-1950. Jakarta: UI Press, 1997.
sumber:http://theglobal-review.com
Rujukan Pembanding:
1. Hario Kecik, Dari Bung Karno Hingga Jokowi, Pemikiran Militer Hario Kecik (Catatan November 2011-September 2012. Yogyakarta: Penerbit Abhiseka Dipantara, 2013.
2. Rosihan Anwar, Singa dan Banteng, Sejarah Hubungan Belanda-Indonesia 1945-1950. Jakarta: UI Press, 1997.
sumber:http://theglobal-review.com