Menteri Agama (Menag) Suryadharma ali menegaskan tidak boleh ada
larangan muslimah berjilbab sama sekali di Indonesia. Kebebasan
berjilbab yang sedang diperjuangkan untuk Polwan (polisi wanita), kata
Menag, seharusnya juga diberlakukan untuk semua profesi muslimah.
"Jangan sampai ada lagi muslimah di Indonesia dilarang dan
dipermasalahkan jilbab mereka karena alasan aturan seragam kerja," kata
Menag kepada ROL, Ahad (16/6). Suryadharma mengakui dirinya sudah
bertemu khusus dan menyampaikan permintaan langsung kepada Kapolri untuk
mengubah aturan diskriminatif bagi Polwan muslimah yang ingin
berjilbab.
Permintaan itu, kata dia, disampaikannya
secara personal ke Kapolri untuk segera menindaklanjuti permintaan
masyarakat agar Polri tidak diskriminatif dalam menetapkan aturan
berseragam. "Ini juga sedang kita upayakan ke beberapa profesi lain yang
mungkin membuat aturan seragam serupa, melarang penggunaan jilbab,"
katanya.
Menag mengingatkan, jilbab tidak akan
mengganggu kinerja Polwan dalam bertugas. Bahkan, kata dia, dengan
menggunakan jilbab Polwan muslimah lebih bisa mawas diri akan perilaku
dirinya. Sehingga mereka Polwan yang menggunakan jilbab memiliki dua
tanggung jawab.
Pertama menjalankan tugas sebagai
penegak hukum dan kedua menjaga perilaku mereka agar sesuai dengan
kaidah Islam. "Jadi dengan jilbab kontrol diri Polwan menjadi semakin
kuat, ini yang seharusnya diperhatikan kepolisian," katanya.
Larang Polwan Berjilbab Kebijakan Tak Bijak
Pelarangan polisi wanita (Polwan) mengenakan jilbab terus mendapatkan
sorotan pedas dari tokoh-tokoh pemuka agama. Kebijakan tersebut dinilai
melanggar konstitusi, HAM, bahkan UUD 1945 pasal 28 E yang menyatakan
kebebasan menjalankan perintah agama sesuai keyakinan masing-masing.
Ketua Pengurus Pusat Muhammadiyah, Prof Din Syamsuddin mengatakan
seharusnya keinginan Polwan berjilbab dilihat Kapolri sebagai sesuatu
yang positif. Menurut Din, di tengah keruntuhan citra kepolisian di
tengah-tengah masyarakat akan rusaknya nilai-nilai moral, ternyata malah
ada anggotanya yang berpegang teguh pada nilai-nilai moral dan agama.
Hal ini harusnya mendapatkan sambutan baik dan dihargai.
"Itu kebijakan yang tidak bijak. Karena memakai jilbab bagi muslimah
adalah bagian dari keyakinan dari pengamalan ajaran agama, dan itu
dijamin oleh negara. Seperti yang dibunyikan dalam undang-undang daasar
1945, negara memberikan kemerdekaan bagi pemeluk agama untuk menjalankan
ibadah sesuai dengan agamanya," jelasnya kepada Republika selepas
shalat Ashar di Masjid Agung Al Azhar Kebayoran Baru Jakarta Selatan,
Ahad (16/6). Ia baru saja menghadiri acara Kajian Politik Islam yang
diselenggarakan di masjid tersebut yang dimulai pukul 13.30 WIB.
Din juga membantah dengan berjilbab akan mengganggu tugas-tugas polwan
dalam beraktivitas. Menurutnya, jawaban seperti itu hanya mengada-ada
dan refleksi dari jenderal yang tidak bijak serta tidak memahami
konstitusi.
"Janganlah polri mengedepankan kebijakan yang bertentangan dengan konstitusi. Jadi sangat nista dan naif," katanya.
Larangan Mengenakan Jilbab Inkonstitusional
Polemik aturan pelarangan jilbab di ranah kepolisian republik Indonesia
semakin mencuat. Berbagai protes dan kritik meluncur terhadap
pelarangan kepada penggunaan jilbab. Khusus, melalui surat keputusan
Kapolri nomor Pol: Skep/702/IX/2005 yang disebutkan bahwa penggunaan
pakaian dinas seragam Polri dan PNS Polri tidak membolehkan penggunaan
jilbab.
Pelarangan ini dinilai telah melanggar
nilai-nilai konstitusi, Undang-undang dasar 1945 pasal 29. Disebutkan
bahwa kebebasan beribadah merupakan jaminan Negara sehingga seharusnya
tidak ada lagi pengekangan terhadap praktik peribadatan, salah satunya
adalah pemakaian jilbab.
Alasan yang pernah
diungkapkan sebagai salah satu sebab penolakan penggunaan jilbab di
kalangan Polri dan PNS Polri adalah kekhawatiran adanya gangguan
terhadap kinerja Polri. Kekhawatiran ini sungguh sangat tidak beralasan.
Hal ini pernah disampaikan oleh beberapa tokoh nasional. Salah satunya,
ketua umum PP Muhammadiyah, Din Syamsuddin, yang menganggap bahwa
alasan pelarangan jilbab merupakan tindakan yang tidak bijak, serta
menunjukkan sikap Polri yang ketinggalan zaman.
Isu
pelarangan jilbab ini sebenarnya telah pernah digaungkan sejak beberapa
tahun silam. Hampir satu dekade penggunaan jilbab di ranah publik
Indonesia, praktik penggunaan jilbab mengalami proses yang cukup
panjang. Ada dua sektor yang bisa diamati sebagai contoh, pertama,
praktik penggunaan jilbab di wilayah pemerintahan (meliputi lingkup
jajaran eksekutif, legislatif maupun yudikatif).
Sektor yang kedua, adalah praktik penggunaan jilbab di wilayah kampus.
Dahulu, penggunaan jilbab baik di kantor-kantor pemerintahan maupun
kampus-kampus merupakan sesuatu yang dilarang (baik berupa aturan maupun
persepsi). Tidak heran, banyak kasus-kasus yang menimpa beberapa wanita
yang berjilbab saat itu yang mendapat perlakukan diskriminasi. Ada yang
dikucilkan, dan tidak jarang beberapa diantaranya kemudian diancam
dikeluarkan dari kampus.
Penyikapan yang dilakukan
publik saat itu merupakan refleksi perkembangan persepsi masyarakat.
Saat ini, tentunya keadaan sudah banyak berubah. Proses reformasi yang
mengalami titik puncak tahun 1998 menjadi pembuka pintu jalan perubahan
dan perbaikan, khususnya dalam konteks ini, penghargaan terhadap
kebebasan beragama. Pemakaian jilbab patut dilihat secara cermat, bahwa
jilbab adalah bentuk penataan terhadap ketentuan agama, dalam hal ini
syariat Islam.
Jadi, bukanlah sebagai corak budaya
semata ataupun simbolisasi agama belaka. Pun, penggunaan jilbab tidak
dapat dikualifikasikan sebagai simbol politik. Dan, ketentuan agama ini
telah secara eksplisit dicantumkan sebagaimana diamanatkan dalam
Pancasila sila ke-1, Ketuhanan Yang Maha Esa dan Undang-undang Dasar
1945, khususnya pasal 29.
Praktik penggunaan jilbab
juga seharusnya menjadi perhatian sektor militer, terutama TNI. TNI
sebagai pilar pertahanan dan keamanan nasional seringkali dianggap
sektor yang harus bebas dari nilai-nilai, selain nilai militer itu
sendiri. Pada hakikatnya, militer harus tetap berjalan sesuai dengan
aturan dasar konstitusi.
Pasal 29 merupakan pilar
utama yang menjadi dasar hukum paling mendasar sehingga tidak dapat
dikesampingkan begitu saja. Jaminan yang diberikan oleh Negara
sepatutnya harus direalisasikan sepenuhnya sehingga kalau tidak
dijalankan maka Negara dianggap telah melakukan wanprestasi terhadap apa
yang telah diamanatkan oleh konstitusi.
Namun, sejauh
ini TNI belum memberikan perubahan kebijakan ataupun sekedar respons
mengenai penggunaan jilbab. Setidaknya, TNI wajib memberikan ruang
kepada aparat wanita yang memang ingin berjilbab.
Pelarangan penggunaan jilbab untuk wanita, baik di institusi Polri
maupun TNI, perlu direvisi. Bentuk pelarangan penggunaan jilbab ini
merupakan sebuah pelanggaran terhadap nilai-nilai konstitusi sehingga
mau tidak mau wajib ditindaklanjuti secara serius, baik secara internal
maupun dari luar institusi.
Secara khusus tentunya,
para petinggi kelembagaan tersebut menjadi orang yang paling bertanggung
jawab untuk melakukan perbaikan ini. Di lain sisi, respon dan dukungan
dari masyarakat luas juga sangat berperan penting untuk menggalang
perbaikan ini sebagai salah satu bukti ketaatan terhadap nilai-nilai
konstitusi. (IRIB Indonesia/ROL)
Minggu, 16 Juni 2013
Kebebasan Berjilbab untuk Semua Profesi
0 Komentar di Blogger
Langganan:
Posting Komentar (Atom)