Menu

Minggu, 16 Juni 2013

Kebebasan Berjilbab untuk Semua Profesi

http://indonesian.irib.ir/image/image_gallery?uuid=6e974da2-6049-41b5-83bf-cd8b321fc69c&groupId=10330&t=1371437462214

Menteri Agama (Menag) Suryadharma ali menegaskan tidak boleh ada larangan muslimah berjilbab sama sekali di Indonesia. Kebebasan berjilbab yang sedang diperjuangkan untuk Polwan (polisi wanita), kata Menag, seharusnya juga diberlakukan untuk semua profesi muslimah.

"Jangan sampai ada lagi muslimah di Indonesia dilarang dan dipermasalahkan jilbab mereka karena alasan aturan seragam kerja," kata Menag kepada ROL, Ahad (16/6). Suryadharma mengakui dirinya sudah bertemu khusus dan menyampaikan permintaan langsung kepada Kapolri untuk mengubah aturan diskriminatif bagi Polwan muslimah yang ingin berjilbab.

Permintaan itu, kata dia, disampaikannya secara personal ke Kapolri untuk segera menindaklanjuti permintaan masyarakat agar Polri tidak diskriminatif dalam menetapkan aturan berseragam. "Ini juga sedang kita upayakan ke beberapa profesi lain yang mungkin membuat aturan seragam serupa, melarang penggunaan jilbab," katanya.

Menag mengingatkan, jilbab tidak akan mengganggu kinerja Polwan dalam bertugas. Bahkan, kata dia, dengan menggunakan jilbab Polwan muslimah lebih bisa mawas diri akan perilaku dirinya. Sehingga mereka Polwan yang menggunakan jilbab memiliki dua tanggung jawab.

Pertama menjalankan tugas sebagai penegak hukum dan kedua  menjaga perilaku mereka agar sesuai dengan kaidah Islam. "Jadi dengan jilbab kontrol diri Polwan menjadi semakin kuat, ini yang seharusnya diperhatikan kepolisian," katanya.

Larang Polwan Berjilbab Kebijakan Tak Bijak

Pelarangan polisi wanita (Polwan) mengenakan jilbab terus mendapatkan sorotan pedas dari tokoh-tokoh pemuka agama. Kebijakan tersebut dinilai melanggar konstitusi, HAM, bahkan UUD 1945 pasal 28 E yang menyatakan kebebasan menjalankan perintah agama sesuai keyakinan masing-masing.

Ketua Pengurus Pusat Muhammadiyah, Prof Din Syamsuddin mengatakan seharusnya keinginan Polwan berjilbab dilihat Kapolri sebagai sesuatu yang positif. Menurut Din, di tengah keruntuhan citra kepolisian di tengah-tengah masyarakat akan rusaknya nilai-nilai moral, ternyata malah ada anggotanya yang berpegang teguh pada nilai-nilai moral dan agama. Hal ini harusnya mendapatkan sambutan baik dan dihargai.

 "Itu kebijakan yang tidak bijak. Karena memakai jilbab bagi muslimah adalah bagian dari keyakinan dari pengamalan ajaran agama, dan itu dijamin oleh negara. Seperti yang dibunyikan dalam undang-undang daasar 1945, negara memberikan kemerdekaan bagi pemeluk agama untuk menjalankan ibadah sesuai dengan agamanya," jelasnya kepada Republika selepas shalat Ashar di Masjid Agung Al Azhar Kebayoran Baru Jakarta Selatan, Ahad (16/6). Ia baru saja menghadiri acara Kajian Politik Islam yang diselenggarakan di masjid tersebut yang dimulai pukul 13.30 WIB.

Din juga membantah dengan berjilbab akan mengganggu tugas-tugas polwan dalam beraktivitas. Menurutnya, jawaban seperti itu hanya mengada-ada dan refleksi dari jenderal yang tidak bijak serta tidak memahami konstitusi.

"Janganlah polri mengedepankan kebijakan yang bertentangan dengan konstitusi. Jadi sangat nista dan naif," katanya.

Larangan Mengenakan Jilbab Inkonstitusional

Polemik aturan pelarangan jilbab di ranah kepolisian republik Indonesia semakin mencuat. Berbagai protes dan kritik meluncur terhadap pelarangan kepada penggunaan jilbab. Khusus, melalui surat keputusan Kapolri nomor Pol: Skep/702/IX/2005 yang disebutkan bahwa penggunaan pakaian dinas seragam Polri dan PNS Polri tidak membolehkan penggunaan jilbab.

Pelarangan ini dinilai telah melanggar nilai-nilai konstitusi, Undang-undang dasar 1945 pasal 29. Disebutkan bahwa kebebasan beribadah merupakan jaminan Negara sehingga seharusnya tidak ada lagi pengekangan terhadap praktik peribadatan, salah satunya adalah pemakaian jilbab.

Alasan yang pernah diungkapkan sebagai salah satu sebab penolakan penggunaan jilbab di kalangan Polri dan PNS Polri adalah kekhawatiran adanya gangguan terhadap kinerja Polri. Kekhawatiran ini sungguh sangat tidak beralasan. Hal ini pernah disampaikan oleh beberapa tokoh nasional. Salah satunya, ketua umum PP Muhammadiyah, Din Syamsuddin, yang menganggap bahwa alasan pelarangan jilbab merupakan tindakan yang tidak bijak, serta menunjukkan sikap Polri yang ketinggalan zaman.

Isu pelarangan jilbab ini sebenarnya telah pernah digaungkan sejak beberapa tahun silam.  Hampir satu dekade penggunaan jilbab di ranah publik Indonesia, praktik penggunaan jilbab mengalami proses yang cukup panjang. Ada dua sektor yang bisa diamati sebagai contoh, pertama, praktik penggunaan jilbab di wilayah pemerintahan (meliputi lingkup jajaran eksekutif, legislatif maupun yudikatif).

Sektor yang kedua, adalah praktik penggunaan jilbab di wilayah kampus. Dahulu, penggunaan jilbab baik di kantor-kantor pemerintahan maupun kampus-kampus merupakan sesuatu yang dilarang (baik berupa aturan maupun persepsi). Tidak heran, banyak kasus-kasus yang menimpa beberapa wanita yang berjilbab saat itu yang mendapat perlakukan diskriminasi. Ada yang dikucilkan, dan tidak jarang beberapa diantaranya kemudian diancam dikeluarkan dari kampus.

Penyikapan yang dilakukan publik saat itu merupakan refleksi perkembangan persepsi masyarakat. Saat ini, tentunya keadaan sudah banyak berubah. Proses reformasi yang mengalami titik puncak tahun 1998 menjadi pembuka pintu jalan perubahan dan perbaikan, khususnya dalam konteks ini, penghargaan terhadap kebebasan beragama. Pemakaian jilbab patut dilihat secara cermat, bahwa jilbab adalah bentuk penataan terhadap ketentuan agama, dalam hal ini syariat Islam.

Jadi, bukanlah sebagai corak budaya semata ataupun simbolisasi agama belaka. Pun, penggunaan jilbab tidak dapat dikualifikasikan sebagai simbol politik. Dan, ketentuan agama ini telah secara eksplisit dicantumkan sebagaimana diamanatkan dalam Pancasila sila ke-1, Ketuhanan Yang Maha Esa dan Undang-undang Dasar 1945, khususnya pasal 29.

Praktik penggunaan jilbab juga seharusnya menjadi perhatian sektor militer, terutama TNI. TNI sebagai pilar pertahanan dan keamanan nasional seringkali dianggap sektor yang harus bebas dari nilai-nilai, selain nilai militer itu sendiri. Pada hakikatnya, militer harus tetap berjalan sesuai dengan aturan dasar konstitusi.

Pasal 29 merupakan pilar utama yang menjadi dasar hukum paling mendasar sehingga tidak dapat dikesampingkan begitu saja. Jaminan yang diberikan oleh Negara sepatutnya harus direalisasikan sepenuhnya sehingga kalau tidak dijalankan maka Negara dianggap telah melakukan wanprestasi terhadap apa yang telah diamanatkan oleh konstitusi.

Namun, sejauh ini TNI belum memberikan perubahan kebijakan ataupun sekedar respons mengenai penggunaan jilbab. Setidaknya, TNI wajib  memberikan ruang kepada aparat wanita yang memang ingin berjilbab.

Pelarangan penggunaan jilbab untuk wanita, baik di institusi Polri maupun TNI, perlu direvisi. Bentuk pelarangan penggunaan jilbab ini merupakan sebuah pelanggaran terhadap nilai-nilai konstitusi sehingga mau tidak mau wajib ditindaklanjuti secara serius, baik secara internal maupun dari luar institusi.

Secara khusus tentunya, para petinggi kelembagaan tersebut menjadi orang yang paling bertanggung jawab untuk melakukan perbaikan ini. Di lain sisi, respon dan dukungan dari masyarakat luas juga sangat berperan penting untuk menggalang perbaikan ini sebagai salah satu bukti ketaatan terhadap nilai-nilai konstitusi. (IRIB Indonesia/ROL)

0 Komentar di Blogger
Silahkan Berkomentar Melalui Akun Facebook Anda
Silahkan Tinggalkan Komentar Anda
http://tusoh.blogspot.com/

0 komentar: