Pengembangan jaringan telekomunikasi kanal lebar berbasis kabel serat
optik telah dicanangkan sejak 1996 melalui Program Nusantara 21. Namun,
program itu terhenti sebelum masuk abad ke-21.
Kebijakan yang tak konsisten ini menyebabkan Indonesia kini tertinggal
dalam layanan telekomunikasi di kawasan ASEAN serta masih menghadapi
masalah kesenjangan layanan informasi dan komunikasi.
Menurut Setyanto P Santosa, Ketua Umum Masyarakat Telekomunikasi
Indonesia, posisi negara ini menurun dari posisi pertama pada era 1970
hingga 1980-an menjadi di bawah empat negara, yaitu Singapura, Malaysia,
Thailand, dan Filipina.
Dalam jumpa pers awal pekan
ini tentang rencana penyelenggaraan ASEAN Chief Information Officer
Forum II yang akan diselenggarakan di Jakarta pada Juni, Setyanto
mengatakan, dalam penyediaan layanan telekomunikasi, Indonesia
mengandalkan jaringan nirkabel, yaitu sistem seluler dan satelit.
Padahal, jenis prasarana telekomunikasi ini lebih rendah dalam hal
kualitas dan kecepatan penyampaian sinyal dibandingkan sambungan kabel
serat optik.
Jaringan telekomunikasi di Indonesia,
ujar mantan Direktur Utama PT Telkom Indonesia itu, 95 persen berupa
telekomunikasi nirkabel dengan kualitas sambungan buruk.
"Dengan sarana ini, komunikasi suara saja buruk, apalagi data, gambar, dan video," ujar Setyanto.
Seharusnya, menurut dia, Indonesia mengikuti tren pengembangan
telekomunikasi yang terjadi di dunia. Layanan telekomunikasi di negara
maju, 60 persen menggunakan kabel serat optik. Teknologi itu memiliki
beberapa kelebihan, antara lain bebas gangguan, berkecepatan tinggi, dan
berkapasitas tinggi.
Masalah layanan telekomunikasi
ini akan menjadi salah satu bahasan dalam forum tersebut. Selain itu,
juga akan dibicarakan tentang penerapan satu sistem operasi (platform)
yang akan dipakai di kawasan ASEAN.
Dalam hal ini akan
dibahas kembali program ASEAN Go Open Source, yang pernah dicanangkan
beberapa tahun lalu, kata Kepala Pusat Teknologi Informasi dan
Komunikasi Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi Hammam Riza.
Pengguna Internet Dunia Capai 2,4 Miliar
Populasi pengguna internet di dunia terus saja meningkat. Kini, jumlahnya sudah menyentuh angka yang luar biasa besar.
Dalam ajang D11 Conference yang diadakan oleh situs AllThingsD, Mary
Meeker yang berasal dari firma Kleiner Perkins Caufield & Byers
Meeker, mengungkapkan bahwa pengguna internet di seluruh dunia telah
menyentuh angka 2,4 miliar orang. Angka tersebut meningkat 8 persen dari
tahun sebelumnya.
Meski mencapai angka yang luar biasa besar, jumlah tersebut hanya mencakup 34 persen populasi dunia.
Indonesia menjadi salah satu negara dengan pengguna internet terbanyak
dengan 55 juta orang. Nilai tersebut mengalami peningkatan 58 persen
dibandingkan tahun sebelumnya. Walaupun begitu, tingkat penetrasinya
tidaklah terlalu besar, yaitu hanya 23 persen.
Negara
dengan tingkat penetrasi internet tertinggi dipegang oleh Amerika
Serikat. Dengan jumlah pengguna sebanyak 244 juta jiwa, tingkat
penetrasi di negara tersebut mencapai 78 persen.
Penggunaan internet dari perangkat mobile juga terus meningkat drastis.
Menurut Meeker, pengguna internet dari perangkat mobile hanyalah 0,9
persen dari keseluruhan lalu lintas internet di Mei 2009. Setahun
sesudahnya, persentase tersebut meningkat hingga 2,4 persen.
Di Mei 2013, pengguna internet mobile global sudah menyentuh angka 15
persen dan akan melonjak hingga 30 persen pada akhir tahun 2014.
Internet 4G "700 MHz" di Indonesia Paling Cepat 2018
Indonesia diminta memanfaatkan frekuensi 700 MHz untuk layanan seluler
sebelum 2015. Demikian disampaikan perwakilan International
Telecommunication Union (ITU) untuk Pengembangan Digital, Suvi Linden.
"Kami ingin menyampaikan proses harmonisasi frekuensi 700 MHz akan
membuka akses untuk warga miskin di daerah pedesaan yang belum
terjangkau perangkat seluler," kata Linden dalam jumpa pers di Jakarta,
seperti dikutip dari Antara.
Linden bersama Asosiasi
GSM (GSMA) mengatakan, Pemerintah Indonesia, melalui Kementerian
Komunikasi dan Informatika, memang berkomitmen untuk menggunakan
frekuensi 700 MHz untuk teknologi seluler setelah 2018.
"Tapi, ada kendala, yaitu penyelenggara siaran televisi analog tidak
ingin pindah sesegera mungkin. Selain kementerian lain dan pemerintah
secara luas perlu dijelaskan arti penting harmonisasi frekuensi itu
untuk ekonomi Indonesia," kata Direktur Senior GSMA, Chris Perera.
Di Indonesia, frekuensi 700MHz kini digunakan untuk siaran televisi
analog. Pemerintah sedang melakukan program digitalisasi televisi, yang
nantinya akan menghapus televisi analog. Program ini akan selesai paling
cepat di akhir 2017.
Jadi, jika ingin menggelar LTE di 700MHz, pemerintah dan operator seluler harus menunggu hingga 2017.
Perera mengatakan, frekuensi 700 MHz di Indonesia belum
diharmonisasikan untuk teknologi digital dan masih dipakai penyelenggara
penyiaran televisi analog.
Harmonisasi frekuensi itu, sebut Perera, yaitu pemanfaatan frekuensi dari 698 MHz hingga 806 MHz di wilayah Asia Pasifik.
"(Padahal) frekuensi itu sudah diharmonisasikan setelah proses digital
dividend, yaitu perpindahan televisi analog ke televisi digital yang
membutuhkan kanal lebih kecil," kata Perera.
Keuntungan yang diperoleh jika memanfaatkan frekuensi itu ialah
mengurangi gangguan sinyal di daerah-daerah yang berbatasan dengan
negara lain, menghemat biaya peralatan karena spesifikasi teknis
peralatan yang dipakai sama dengan negara lain di kawasan, serta membuka
potensi bisnis baru dan lapangan pekerjaan baru.
Perera menambahkan, frekuensi yang rendah seperti 700 MHz juga mampu
menjangkau area lebih luas karena membutuhkan lebih sedikit menara
pemancar dan menembus gedung-gedung di daerah perkotaan.
"Anda bisa membuka teknologi long term evolution (LTE) atau 4G di
frekuensi 2,5 atau 2,6 GHz. Tetapi, itu akan lebih mahal dibanding
dilakukan di frekuensi 700 MHz selain kemampuan frekuensi itu untuk
menjangkau ke wilayah perbatasan," kata Linden. (IRIB
Indonesia/Kompas/Antara)
Senin, 03 Juni 2013
Mengapa Internet di Indonesia Lambat?
0 Komentar di Blogger
Langganan:
Posting Komentar (Atom)