Seiring
berlangsungnya pertempuran di al Qusayr, Syria, di kota Sidon Lebanon
berlangsung juga pertempuran yang cukup seru antara pihak-pihak yang
mendukung pemberontak Syria melawan pihak-pihak yang mendukunng
pemerintah Syria. Sampai saat ini diperkirakan jumlah korban tewas dalam
pertikaian di Sidon ini setidaknya telah merenggut nyawa 25 orang.
Namun di balik "pertempuran" di Sidon ini terdapat "pertempuran" lain
lagi, yaitu "perang pengaruh" antara 2 orang ulama: Imam Masjid al-Quds
dan tokoh Sunni Sheikh Maher Hammoud melawan pemimpin gerakan
salafi-wahabi Ahmad al-Asir.
Perselisihan antara keduanya
merupakan salah satu faktor yang membuat perselisihan di Sidon semakin
"menarik". Sheikh Maher Hammoud merupakan pendukung gerakan "Perlawanan"
Hizbollah meski beliau adalah seorang pemuka Sunni. Sementara al-Asir
merupakan pendukung utama pemberontak Syria bahkan dikabarkan terlibat
langsung di medan perang al Qusayr.
Saat ini perselisihan antara
kedua ulama tersebut kembali menjadi perhatian publik setelah adanya
upaya pembunuhan terhadap Sheikh Hammoud pada hari Senin (3/6). Meski
belum ada bukti kuat, publik pun mengarahkan pandangan pada lawan Sheikh
Hammoud, yaitu al-Asir.
Pada hari Sabtu lalu (8/6) Sheikh Hammoud mengadakan wawancara eksklusif dengan media milik Hizbollah Almanar,
mengungkapkan pemikiran dan pendapat-pendapatnya tentang berbagai isu
politik yang berkembang di kawasan. Ia berpendapat bahwa apa yang
terjadi di Lebanon, Syria dan kawasan merupakan perpecahan, namun saat
kebaikan dan keburukan saling terkait seseorang harus mengambil sikap
yang menguntungkan negara dan agama. Tentang upaya pembunuhan terhadap
dirinya ia menunjuk pada kelompok "takfiri" (orang-orang yang suka
mengkafirkan) yang secara tidak langsung ia menunjuk pada al-Asir.
“Saya rasa dalam beberapa hari mendatang banyak hal (tentang upaya pembunuhan) akan terkuak," katanya.
Dalam
wawancara tersebut secara umum Sheikh Hammoud mengingatkan tentang
bahaya berkembangnya faham "takfiri" di antara umat Islam Lebanon, yang
dengan gampang melakukan pembunuhan terhadap orang Islam yang berbeda
pandangan dengan mereka.
“Bayangkan jika regim di Syria tumbang dan
orang-orang takfiri serta Amerika dan antek-anteknya menguasai negeri
itu, apa yang akan terjadi dengan Lebanon?”
“Menurut saya bencana
akan terjadi jika pemerintah Syria ditumbangkan sebagaimana
direncanakan mereka (takfiri dan antek-antek Amerika)," kata Sheikh
Hammoud.
Mengenai Hizbollah ia membela langkah Hizbollah
menerjunkan diri dalam pertempuran di Syria dan memujinya sebagai
langkah yang bisa mencegah bencana bagi bangsa Lebanon dan seluruh
kawasan.
"Kita semua tahu bahwa masalah ini akan selalu dipandang
dari sudut pandang sektarian. Namun demikian Hizbollah tidak terlihat
melakukan tindakan yang bisa memancing perpecahan. Hizbollah tahu benar
resiko dari perang di al Qusayr. Bagaimanapun, saat harus memilih antara
yang buruk dan yang terburuk, Hizbollah memilih yang pertama," katanya.
Di
sisi lain Sheikh Hammoud mengkritik langkah-langkah yang diambil
berbagai gerakan Islam di Timur Tengah khususnya Ikhwanul Muslimin yang
saat ini muncul sebagai kekuatan politik yang berpengaruh paska revolusi
"Arabs Spring". Menurunya Ikhwanul Muslimin telah melenceng dari garis
yang dibuat oleh pendiri organisasi tersebut, yaitu Hasan al Bana.
Sebagaimana kita ketahui Ikhwanul Muslimin dibentuk oleh al-Bana untuk
membebaskan Palestina dari penjajahan Israel.
"Jika mereka setia
dengan ajaran Imam al-Banna, mereka akan mengambil sikap seperti saya,"
katanya menunjuk pada sikap Ikhwanul Muslimin yang telah berkolaborasi
dengan Amerika dalam krisis Mesir dan Syria.
Sebaliknya Sheikh Hammoud memuji apa yang telah dilakukan Iran yang disebutnya telah berjasa besar bagi negara Lebanon.
"Langkah
dan tindakan Iran mengindikasikan bahwa mereka hanya memiliki satu
tujuan, yaitu Palestina. Mereka menganggap semua halangan dan kesulitan
sebagai hal yang mudah demi meraih tujuan mereka," katanya tentang Iran.
AL ASIR DAN PANDANGAN SHEIKH HAMMOUD TENTANGNYA
Pada
akhir bulan Februari lalu Sheikh Hammoud mengadakan konperensi pers
terkait dengan ketegangan sektarian yang terjadi di Sidon setelah Al
Asir dan pendukung-pendukungnya berusaha merebut apartemen milik
Hizbollah yang diklaim sebagai milik mereka. Dalam kesempatan tersebut
beliau mengecam Al Asir dan pendukung-pendukungnya, termasuk
negara-negara Arab kaya minyak.
"Raja-raja minyak, menghabiskan
uang rakyat untuk korupsi, berbeda dengan Iran yang memproduksi energi
nuklir, pesawat, mobil dan membantu perjuangan Palestina," katanya.
Kepada
Al-Asir ia mengajukan pertanyaan, "Siapa yang memberi kuasa pada Anda
untuk menentukan Sunni? Kami lebih Sunni dibanding para wahabi radikal
(seperti Anda). Belajarlah pada kami sebelum terlambat. Kesombongan Anda
membuat Anda menjauh dari suara kebenaran dan pemahaman terhadap al
Qur'an."
“Teman-teman Shiah kami dalam berpolitik telah sesuai
dengan Islam, dan perjuangan mereka merupakan ibadah yang diperintahkan
Allah. Kami tidak akan membiarkan kegilaan Anda membawa negeri ini ke
arah yang tidak diinginkan masyarakat kota Sidon," kata Sheikh Hammoud.
Selama
dua tahun terakhir, ulama ekstrimis salafi bernama al Asir ini mulai
memecah belah kota Sidon di Selatan Libanon dan mengungkapkan tujuannya
untuk melawan Hizbollah dengan dukungan para politisi opportunis Lebanon
dan negara-negara Arab
Ahmad al-Asir al-Husseini dilahirkan dari
ayah yang sunni dan ibu yang syiah di Sidon pada tahun 1968. Kakeknya
Yusuf bin Abdel Qadir bin Mohammad al-Asir al-Husseini adalah seorang
penyair, peneliti dan salah satu pendiri gerakan "Renaissance" di
Shamat. Al-Asir memiliki dua istri dan tiga anak.
Dia dikenal
dengan nama keluarga 'al-Asir' (tawanan) di Libanon karena salah satu
nenek moyangnya pernah ditangkap pasukan Perancis selama masa penjajahan
Libanon.
Ia mulai dikenal keilmuannya sejak anak-anak setelah
meraih gelar hafiz Qur'an pada umur 7 tahun. Dia belajar mata pelajaran
agama di sekolah Sunni Dar al-Fatwa di Beirut sebelum menjadi imam di
Masjid Bilal di Sidon. Al-Assir mulai terkenal di awal 2011 ketika dia
mulai menganjurkan rakyat untuk melawan Bashar al-Assad.
Selama
karirnya sebagai tokoh politik, al-Assir telah membuat berbagai
pernyataan yang telah disiapkan untuk menghidupkan perang sektarian di
Libanon. Dia memperkenalkan dirinya sebagai seorang ulama ekstremis dan
secara terbuka mengutuk Sayyid Hasan Nasrullah, pemimpin Hizbolah
Libanon.
Meskipun al-Asir tidak mendapat dukungan penuh dari
kaum Muslim Sunni, rencana dan programnya telah membuat dirinya menjadi
ancaman potensial bagi Hizbullah dan perjuangannya melawan Israel.
Dengan populasi sekitar satu juta orang, Muslim Sunni menyumbang 27-30 %
dari total populasi Lebanon. Mereka banyak menetap di kota-kota besar
seperti Sidon dan Tripoli, dan di ibukota Beirut populasi mereka
mencapai 2/3 dari jumlah penduduk.
Ada juga penduduk Sunni dalam
masyarakat petani dan kelompok kesukuan di wilayah Timur Bogha, Akkar
dan Hasibia yang mendukungnya. Pendukung al-Asir pada awalnya terbatas
tapi jumlahnya kemudian meluas secara bertahap. Para pendukung al-Asir
dapat dikategorikan menjadi dua kelompok:
Pertama, mereka yang
menyetujui ideologi salafi al-Asir. Kelompok ini berkembang secara
eksponensial di dunia Sunni karena berbagai alasan: promosi kegiatan
pendidikan dan dukungan yang dilakukan gerakan salafi-wahhabi, investasi
yang dilakukan beberapa negara Arab di Teluk Persia, kegiatan anti-AS
yang dilakukan al-Qaeda dan gelombang baru kebangkitan Islam. Sebagian
besar orang-orang kelompok ini dapat ditemukan di kawasan kelas rendah
sekitar Beirut seperti Sidon, Tripoli, Akkar, daerah nomaden di Bogha,
Hasibia dan juga di kamp-kamp pengungsi Palestina.
Kategori kedua
terdiri dari Muslim Sunni yang tidak setuju dengan pemikiran Salafi,
tapi mengikuti Sheikh Ahmad al-Assir karena secara terbuka melawan
Suriah, Hizbullah dan Muslim Syiah. Kelompok ini terutama ditemukan pada
kelas menengah perkotaan di Saida, Beirut dan Tripoli.
Dari 1
juta warga Sunni di Lebanon, 65 % dari mereka mendukung sikap al-Asir
terhadap Hizbullah dan mendukungnya. Sisanya, lebih menyukai Hizbollah
karena mereka tidak puas dengan tindakan Sheikh dalam masalah antar-suku
dan perpecahan yang diciptakannya. Sekitar 25 % warga Sunni secara
intelektual konsisten dengan al-Asir dalam masalah konflik Syria dan
perluasan propaganda politiknya. Mereka bekerja sama dengannya dalam
ideologi salafi.
Dengan dukungan keuangan dari negara-negara
minyak Arab, al-Asir berhasil mengembangkan aktivitasnya di berbagai
bidang seperti media (menurut beberapa sumber dia akan mendirikan sebuah
saluran televisi satelit dalam beberapa bulan ini), jaringan sosial,
dan pusat-pusat pendidikan dan agama.
Terjadinya gejolak di dunia
Arab menyiapkan sarana bagi kegiatan ekstremis dan radikal kaum
salafi-wahabi dan al-Asir mengambil keuntungan dari hal itu dan membuat
pengumuman di Lapangan Syuhada Beirut dengan menyeru pendukungnya untuk
"berjihad" melawan Bashar al-Assad di Syria. Langkah berikutnya adalah
dengan melancarkan aksi mogok di jalan bebas hambatan dari Beirut-Sidon,
sebuah tempat yang memiliki posisi strategis. Tempat ini merupakan
penghubung utama antara Beirut dengan daerah Syiah di selatan Libanon.
Al-Assir mengajukan syarat untuk membuka kembali jalan bebas hambatan
itu: pelucutan senjata Hizbullah. Pemogokan itu berlangsung selama
berminggu-minggu dan baru berakhir setelah aparat keamanan turun tangan.
Ketika
terjadi pelecehan Nabi Muhammad oleh media massa barat dan umat Islam
di seluruh dunia bangkit melakukan protes, baik Hizbollah maupun
pendukung al Asir sama-sama turun ke jalanan. Namun al Asir menggunakan
kesempatan tersebut untuk mengecam Hizbollah dan Suriah.
Namun
tindakan al-Assir yang paling membahayakan adalah serangan langsung
terhadap para mengikut Shiah. Selama bulan Muharram, Muslim Syiah
Lebanon, khususnya Hizbollah, memasang tiang bendera untuk meratapi
kesyahidan Imam Hussein AS di sepanjang jalan bebas hambatan dari Beirut
ke selatan. Pendukung Al-Assir menyerang dan memukuli orang-orang yang
tengah berkabung di bawah bendera itu. Langkah itu disesali oleh semua
kelompok Libanon, khususnya warga Sidon. Bentrokan antara warga setempat
dan pendukung al-Assir pun terjadi di kota itu hingga menewaskran
beberapa orang.
Dari semua tindakan al-Asir itu kita bisa
mengukur bagaimana kesabaran Hizbollah. Namun bukan berarti Hizbollah
tidak berani bertindak. Hizbollah hanya mengukur sejauh mana tindakan
yang akan diambil benar-benar tepat. Kita bisa melihatnya dalam kasus
pertikaian antara blok Hizbollah dan "Perlawanan" dengan blok
pro-Amerika tahun 2008 yang kala itu dipimpin langsung oleh PM Fuad
Siniora. Selama berbulan-bulan Hizbollah bersabar terhadap segala
provokasi yang dilakukan lawan-lawannya, termasuk ketika Siniora memecat
komandan keamanan bandara internasional Beirut yang secara konvensi
selalu dipegang oleh perwira militer dari kelompok Shiah. Namun ketika
Siniora hendak melakukan tindakan lebih jauh dengan merampas jaringan
telekomunikasi milik Hizbollah, Hizbollah bertindak cepat: menyerang
posisi-posisi strategis milik pendukung Siniora, menguasainya, hingga
mengepung kediaman Siniora dan tokoh-tokoh pendukungnya.
Siniora
pun membatalkan rencananya. Tidak hanya itu, ia terpaksa harus menerima
syarat yang diajukan Hizbollah, yaitu memberikan 1/3 jabatan kabinet
kepada Hizbollah dan kelompok-kelompok blok-nya.
REF:
"Sheikh Hammoud to Al-Manar Website: Takfiris Threat to All Muslims"; Marwa Haidar; Al-Manar Website; 8 Juni 2013
"Sheikh Hammoud: Who Gave You Authority to Define Sunnis?"; blog Islamic Invitation Turky; 2 Maret 2013
"Siapakah Sheikh Ahmad al-Asir?"; Islam Times
Senin, 10 Juni 2013
PERANG DUA ULAMA SIDON
0 Komentar di Blogger
Langganan:
Posting Komentar (Atom)