Hiruk-pikuk
konflik di Suriah telah membuat banyak orang lupa pada kondisi
Palestina. Bagaimana situasi mereka kini? Harian Al-Quds pekan lalu
memberitakan bahwa aksi kekejaman Israel terhadap warga Palestina di
Yerusalem Timur semakin meningkat tajam dalam beberapa pekan terakhir.
Sementara Al Ayyam menurunkan berita tentang peta desain pembangunan
kuil Yahudi di atas reruntuhan Masjid Al Aqsa.
Resolusi
PBB nomor 181 tahun 1947 yang membagi dua wilayah Palestina telah
menimbulkan konflik berkepanjangan, yang hingga hari ini belum bisa
diselesaikan. Karena ada pihak yang terusir (warga asli Palestina) dan
ada pihak yang merasa harus terus mempertahankan wilayah jajahan
(Israel), Palestina seolah tak pernah sepi dari berbagai aksi kekerasan.
Pada tahun 1967, terjadi Perang Enam Hari antara Israel dan
negara-negara Arab pembela Palestina, yang justru berakhir dengan
penguasaan seluruh wilayah Palestina oleh Israel (wilayah yang semula
dibagi dua oleh PBB, setelah 1967 seluruhnya diduduki Israel).
Sejak
itu pula, muncul perjuangan kemerdekaan bangsa Palestina yang dilakukan
secara gerilya dan senjata seadanya; dan dihadapi dengan berbagai
operasi militer oleh Israel. Berbagai upaya mediasi antara Israel dan
Palestina telah diupayakan oleh komunitas internasional, termasuk
dirilisnya ratusan Resolusi PBB terkait konflik Israel-Palestina. Namun
berbagai upaya mediasi itu terus menemui jalan buntu, meski sempat
tercapai beberapa kemajuan minor, seperti Perjanjian Oslo 1993 yang
berisi pembentukan semacam ‘pemerintahan sementara’ di Palestina, yang
disebut “Otoritas Palestina” dan pengembalian 2 % wilayah jajahan Israel
(yaitu Jalur Gaza dan Tepi Barat) kepada Otoritas Palestina.
Setelah
Otoritas Palestina terbentuk, justru muncul konflik internal di dalam
tubuh Palestina sendiri, yaitu antara kelompok Fatah yang mendominasi
Otoritas Palestina dengan kelompok-kelompok jihad (yang didominasi oleh
Hamas). Dalam pemilu untuk memilih anggota parlemen Palestina, Januari
2006, yang disebut-sebut pengamat internasional sebagai pemilu yang
paling demokratis di Timur Tengah, Hamas meraih kemenangan. Fatah dan
Hamas sempat membentuk pemerintahan bersama, namun akhirnya terjebak
dalam konflik kekerasan. Sejak tahun 2007, secara de facto ada dua pemerintahan di Palestina, kelompok Hamas berkuasa di Gaza, dan kelompok Fatah menguasai Tepi Barat.
Dengan
demikian, secara garis besar ada konflik segitiga di wilayah yang
diperebutkan oleh Palestina dan Israel itu, yaitu Israel versus Otoritas
Palestina (Fatah) versus Pejuang Islam (diwakili Hamas). Situasi
konflik ini jelas menyulitkan proses resolusi Palestina-Israel karena di
pihak Palestina tidak (belum) ada wakil yang diakui oleh mayoritas
rakyat Palestina. Apapun keputusan yang diambil oleh Otoritas Palestina
(Fatah) dalam perundingan dengan Israel, akan dianggap sebagai keputusan
sepihak yang tidak diakui oleh Hamas. Akibatnya, proses mediasi dan
negosiasi antara Palestina dan Israel menjadi mentah dan tidak membawa
hasil yang diharapkan.
Konflik Fatah-Hamas
Penulis
melihat, persoalan utama yang mesti diselesaikan dulu di Palestina
adalah menyatukan suara internal. Bila di dalam negeri sendiri masih
berkonflik, siapapun tahu, perjuangan tidak akan maksimal. Namun,
masalahnya, justru kedua organisasi ini berseteru (belum lagi bila kita
memperhitungkan organisasi/kelompok-kelompok lain di Palestina).
Bila konflik ini dianalisis dengan menggunakan skema Segitiga Konflik dari Galtung, penulis menyimpulkan hal-hal berikut ini.
Kontradiksi (contradiction):
Fatah-Hamas saling kontradiktif dalam visi dan strategi mereka terkait
kemerdekaan Palestina. Fatah selalu mengedepankan negosiasi dengan
Israel, bahkan bersedia menjadi tameng bagi Israel dengan cara merepresi
(menembak, menangkap) kelompok-kelompok jihad atau rakyat biasa yang
melakukan aksi-aksi kekerasan terhadap warga Israel. Sebaliknya, Hamas
memandang bahwa berbagai serangan terhadap Israel (bom bunuh diri,
serangan rudal, atau lemparan batu) yang dilakukan warga Palestina
adalah semata-mata balasan sporadis atas berbagai operasi militer yang
dilancarkan Israel terhadap Palestina sejak tahun 1947.
Perilaku (attitude):
Fatah melakukan aksi-aksi represif terhadap warga Palestina yang
melakukan aksi kekerasan, termasuk menangkap dan menahan para aktivis
Hamas. Kekuatan Fatah adalah sekitar 80.000 personel, termasuk polisi,
intelijen, paengawal presiden, dan Brigade Al Aqsa. Satuan keamanan
Otoritas Palestina mendapat pelatihan, pasokan senjata, dan dana militer
sebesar 86,4 Juta Dollar dari AS.[1]
Kekuatan Fatah sangat tidak berimbang dibandingkan dengan Hamas yang
hanya memiliki 15.000 personil yang tergabung dalam Brigade Izzuddin Al
Qasam.[2]
Sikap (behavior):
Fatah dan Hamas saling mempersepsi satu sama lain sebagai musuh yang
menghambat tercapainya cita-cita kemerdekaan Palestina. Keduanya
memiliki tujuan yang sama, yaitu Palestina merdeka, namun karena
memiliki strategi yang berbeda, terjadi perbedaan persepsi satu sama
lain. Fatah memandang sikap non-kompromis Hamas terhadap Israel justru
menjadi penyebab semakin besarnya serangan dan tekanan Israel terhadap
warga Palestina. Sebaliknya, Hamas memandang Fatah sebagai pengkhianat
karena mau menjalin perjanjian damai dengan Israel walaupun mengorbankan
rakyat Palestina. Salah satu butir isi perjanjian Oslio 1993 adalah
Otoritas Palestina berjanji mengamankan Israel dari segala bentuk
serangan ‘terorisme’, padahal konsesi yang didapatkan Palestina hanya
pengembalian 3% dari wilayah yang ditetapkan Resolusi 181.
Mungkinkah Hamas-Fatah Bersatu?
Langkah
pertama yang harus dilakukan dalam proses mediasi Palestina-Israel,
adalah menyelesaikan dulu persoalan internal di Palestina. Setelah
Palestina ‘satu suara’, barulah mereka maju ke meja perundingan dengan
Israel, dan apapun hasil yang dicapai akan diterima sebagai keputusan
bersama bangsa Palestina. Dalam perspektif realis, resolusi konflik yang
sama-sama menguntungkan para pihak akan sulit dicapai karena para
pihak yang bertikai pasti akan memertahankan interest mereka masing-masing. Resolusi yang mungkin terjadi dalam situasi ini adalah win-lose resolution,
yaitu satu pihak meraih apa yang diinginkannya, sementara pihak lain
kalah dan terpaksa melepaskan apa yang diinginkannya. Memang benar,
biasanya pihak yang berkonflik akan berkeras memertahankan kepentingan
mereka. Kalau perlu, biarlah pihak lain yang hancur (win-lose). Namun, bila dihadapkan kepada pilihan bahwa kedua pihak mungkin akan sama-sama hancur (lose-lose)
bila mereka terus berkeras pada kehendak masing-masing, sangat mungkin
kedua pihak mau berkompromi dan saling memberikan kompensasi. Tugas
mediator adalah menolong pihak-pihak yang berkonflik untuk menggeser
pandangan mereka dari konflik zero-sum dan bergerak ke arah postive-sum (Miall et al, 1990:6).
Bila
kita meninjau masalah ini dari perspektif kajian resolusi konflik,
ternyata ada berbagai peluang resolusi selain win-lose resolution, yaitu
sebagai berikut. Ketika A dan B berkonflik untuk memerebutkan suatu
hal, misalnya wilayah tertentu, selain win-lose resolution, ada lima
situasi yang mungkin terjadi:
- Seandainya A tidak terlalu berkeras, sementara B sangat berkeras, maka kemungkinannya B akan berjuang keras (contending) untuk menguasai wilayah tersebut.
- Seandainya A berkeras, dan B tidak terlalu berkeras, B akan mengalah (yield)
- Seandainya A dan B sama-sama tidak berkeras, maka mereka akan menghindari konflik (withdrawal).
- Seandainya A dan B sama-sama berkeras, tapi tidak terlalu berkeras, bisa dicapai kesepakatan di antara mereka (compromising).
- Seandainya A dan B sama-sama berkeras mempertahankan interes mereka, namun di saat yang sama juga mereka juga saling memahami aspirasi dan kebutuhan pihak lain, maka bisa dicapai resolusi yang terbaik, yaitu penyelesaian masalah (problem solving). Inilah tahap terbaik yang mungkin dicapai melalui Resolusi Konflik (Miall et al, 1999: 5-6).
sumber:http://theglobal-review.com