Penggunaan
dana asing tampaknya bukan hanya digunakan untuk pembiayaan
infrastruktur saja. Namun juga untuk pembiayaan modernisasi alutsista
TNI. Hanya modelnya atau namanya saja yang berubah-ubah. Dulu
istilahnya kredit ekspor (KE), terus berubah lagi menjadi APP, terus
sekarang berubah lagi istilahnya menjadi pinjaman luar negeri (PLN).
Intinya, tetap saja itu pinjam dana asing. Apalagi utang Indonesia
sudah mencapai Rp1800 triliun.
Pemerintah
telah mengalokasikan pembiayaan modernisasi alutsista TNI hingga 2014
dari sumber pendanaan PLN US$ 6,5 miliar. Yang menjadi pertanyaan
adalah mengapa untuk memodernisasi alutsista TNI itu tidak menggunakan
pinjaman dalam negeri (PDN)? Padahal sesungguhnya banyak sumber
pendanaan PDN yang bisa dimaksimalkan. Contohnya, surat utang negara
(SUN) atau surat berharga negara (SBN) yang banyak digunakan untuk
membiayai proyek infrastruktur.
Dengan begitu, NKRI bisa meminimalisir ketergantungan dana asing. Sehingga hal ini menjadi tekad kuat bagi kemandirian bangsa ini. Padahal dulu, Bank Mandiri sempat menawarkan pinjaman PDN untuk keperluan produksi alutsista bagi BUMN. Namun entah kenapa hal itu tidak didorong lebih jauh. Terlebih lagi, selama ini Presiden SBY sendiri yang menyatakan demikian.
Jangan lagi sekadar janji dan statement soal kecintaan pada produk alutsista dalam negeri. Tapi harus diwujudkan dalam komitmen yang nyata. Karena semakin ketergantungan dana asing, maka membuat NKRI tidak berdaya atas peranan asing dalam urusan dalam negeri.
Berdasarkan catatan Kementerian Keuangan, anggaran Kementerian Pertahanan (Kemhan) pada 2012 ini mencapai sebesar Rp72,5 triliun. Anggaran sebesar itu terdiri dari anggaran dari rupiah murni sebesar Rp 56,2 triliun dan anggaran rupiah murni pendamping Rp 4,2 triliun. Sedangkan anggaran yang bersumber dari pinjaman dalam dan luar negeri pada tahun ini sebesar Rp 11,9 triliun
Ternyata dari alokasi pinjaman luar negeri (PLN) untuk belanja atau modernisasi alutsista TNI hingga 2014 mendatang sebesar US$ 6,5 miliar, yang telah setujui untuk alokasi PLN itu hanya sebesar US$ 5,7 miliar. Padahal Bappenas sendiri hingga kini masih mengkaji atas alokasi PLN yang teralokasi, terutama yang belum dimanfaatkan secara maksimal
Mestinya, peningkatan anggaran belanja alutsista, juga dapat diserap untuk kalangan industri pertahanan dalam negeri. Dimana pemerintah pun sudah mengalokasikan anggaran untuk penguatan modal bagi kepentingan BUMN industri strategis nasional tersebut
Bolehlah mengambil pengalaman Turki terkait mewujudkan kemandirian dalam penggunaan alutsista dari produksinya sendiri. Pada 2007 lalu, belanja alutsista Turki dari negara lain hanya sebesar US$3,2 miliar. Sementara pengadaan alutsista dari produksi dalam negerinya mencapai US$4,3 miliar. Sementara pada 2008, Turki telah belanja alutsista dari pruduksi dalam negerinya sendiri meningkat mencapai US$5,2 miliar. Dan impornya hanya US$4,2 miliar.
Dengan begitu, NKRI bisa meminimalisir ketergantungan dana asing. Sehingga hal ini menjadi tekad kuat bagi kemandirian bangsa ini. Padahal dulu, Bank Mandiri sempat menawarkan pinjaman PDN untuk keperluan produksi alutsista bagi BUMN. Namun entah kenapa hal itu tidak didorong lebih jauh. Terlebih lagi, selama ini Presiden SBY sendiri yang menyatakan demikian.
Jangan lagi sekadar janji dan statement soal kecintaan pada produk alutsista dalam negeri. Tapi harus diwujudkan dalam komitmen yang nyata. Karena semakin ketergantungan dana asing, maka membuat NKRI tidak berdaya atas peranan asing dalam urusan dalam negeri.
Berdasarkan catatan Kementerian Keuangan, anggaran Kementerian Pertahanan (Kemhan) pada 2012 ini mencapai sebesar Rp72,5 triliun. Anggaran sebesar itu terdiri dari anggaran dari rupiah murni sebesar Rp 56,2 triliun dan anggaran rupiah murni pendamping Rp 4,2 triliun. Sedangkan anggaran yang bersumber dari pinjaman dalam dan luar negeri pada tahun ini sebesar Rp 11,9 triliun
Ternyata dari alokasi pinjaman luar negeri (PLN) untuk belanja atau modernisasi alutsista TNI hingga 2014 mendatang sebesar US$ 6,5 miliar, yang telah setujui untuk alokasi PLN itu hanya sebesar US$ 5,7 miliar. Padahal Bappenas sendiri hingga kini masih mengkaji atas alokasi PLN yang teralokasi, terutama yang belum dimanfaatkan secara maksimal
Mestinya, peningkatan anggaran belanja alutsista, juga dapat diserap untuk kalangan industri pertahanan dalam negeri. Dimana pemerintah pun sudah mengalokasikan anggaran untuk penguatan modal bagi kepentingan BUMN industri strategis nasional tersebut
Bolehlah mengambil pengalaman Turki terkait mewujudkan kemandirian dalam penggunaan alutsista dari produksinya sendiri. Pada 2007 lalu, belanja alutsista Turki dari negara lain hanya sebesar US$3,2 miliar. Sementara pengadaan alutsista dari produksi dalam negerinya mencapai US$4,3 miliar. Sementara pada 2008, Turki telah belanja alutsista dari pruduksi dalam negerinya sendiri meningkat mencapai US$5,2 miliar. Dan impornya hanya US$4,2 miliar.
Sumber :www.neraca.co.id