Menu

Minggu, 19 Mei 2013

Awal Mei, Anak Gajah Sumatera Mati di Aceh dan Riau



Di Aceh, anak gajah mati kesetrum listrik di Jalan Gajah Mati. Lebih parah, di Riau anak gajah mati pada konsesi RAPP di Baserah. Keduanya terjadi dalam Mei 2013. Kondisi ini salah satu indikasi konflik antara gajah dan manusia makin tinggi.

Kematian dua anak gajah Sumatera (Elephas maximus sumatranus) di Aceh dan Riau pada Mei 2013, menambah daftar panjang temuan satwa ini yang  tewas sejak 2012.  Sepanjang tahun lalu, di Aceh ada 14 gajah dan Riau 15 gajah mati. Sebagian besar sengaja dibunuh. Namun hingga sekarang belum ada proses hukum yang berhasil ditegakkan polisi dan BKSDA.

Di Aceh, baru saja anak gajah jantan berusia 10  tahun tewas kesetrum akibat menabrak kabel listrik melintang di Jalan Gajah Mati, Desa Bangkeh, Kecamatan Geumpang Kabupaten Pidie Rabu (8/5/13)  malam. Warga menemukan gajah malang mati di jalan kampung pada pagi hari.

Zulkifli, Koordinator Polisi Hutan Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh, di Banda Aceh, Senin (13/5/13) membenarkan peristiwa itu. Menurut dia, tim Conservation Respons Unit (CRU) Mane dan BKSDA sedang operasi penggiringan tak jauh dari lokasi kejadian, sempat mendengar anak  gajah menjerit pada malam naas itu. Namun, baru keesokan hari tim baru memastikan gajah telah mati. Di mulut ada rangkaian kabel listrik. Kemungkinan ia menggigit kabel untuk lepas dari jeratan hingga tersengat arus listrik.

BKSDA Aceh tak melihat ada unsur kesengajaan memasang kabel listrik di jalan untuk menjerat gajah. “Kabel listrik itu disambung dari sebuah rumah untuk penerangan pondok pembibitan gaharu dan ikan milik yayasan masyarakat. Jarak sekitar 300 meter. Kemungkinan kendor dan ditabrak gajah yang melintas tak sengaja.”

Hasballah, Koordinator CRU Mane di Geumpang mengatakan, sebelum kejadian itu sudah dua hari berupaya menggiring kawanan gajah yang masuk ke pemukiman warga. Jumlah mencapai 20. Anak gajah tewas itu  terpisah dari kelompok dan lari ke arah kampung.

Pasca kejadian tim CRU Mane memantau terus situasi, karena beberapa kali kawanan gajah dari kelompok gajah malang itu mendekat ke lokasi kubur anak gajah itu.“Kawanan gajah  liar itu sempat beberapa kali datang, mereka emosi karena kawan mati. Sekarang kami sudah bisa menggiring mereka ke batas hutan.”

Geumpang merupakan kawasan hutan pegunungan di bagian utara Aceh. Di sana konflik manusia dan gajah kerap terjadi. Menurut Zulkifli, gangguan di hutan Geumpang  semakin tinggi karena adanya  illegal logging, cetak sawah baru dan aktivitas pertambangan emas. Gajah sering masuk ke kawasan perkebunan penduduk. “Gajah-gajah keluar dari hutan karena terganggu dan masuk ke lahan budidaya masyarakat.”

Wahdi Azmi, Ketua Forum Komunikasi Gajah Indonesia (FKGI) mengatakan,  sudah lama tidak ada kematian gajah akibat tersengat listrik di Aceh. Mereka pernah menemukan kasus serupa 1996 di wilayah berdekatan dengan Geumpang , gajah dewasa betina mati tersengat listrik dari kabel tiang listrik kendor.

Namun, patut diwaspadai gajah atau satwa lain mati akibat tersengat arus listrik bisa terus terjadi. Sebab, Wahdi mendapat laporan banyak tempat di Aceh,  baik masyarakat dan perkebunan besar memasang kabel listrik untuk mengamankan kebun dari gangguan satwa.

“Pemakaian arus listrik di pagar hanya untuk efek kejut, tapi tidak mematikan satwa. Banyak yang sembarangan memasang arus listrik di pagar. Ini bisa mematikan tidak hanya satwa tapi manusia. Harus ada sosialisasi segera melarang pemakaian setrum di pagar kebun.”

Data BKSDA Aceh, menyebutkan, saat ini hampir semua kabupaten di Aceh  gajah-gajah turun ke kebun dan sawah dan membuat kerusakan. Sejak 2012, fenomena gajah turun di luar musim menjadi tidak biasa. Arus migrasi gajah berubah karena habitat gajah menjadi perkebunan sawit, pemukiman, cetak sawah baru dan peladangan milik masyarakat. Maraknya kegiatan eksplorasi pertambangan juga sangat mengganggu, karena suasana bising di dalam hutan tak disukai gajah.

FKGI mengingatkan, tingginya konflik gajah dan manusia bisa berdampak timbul korban manusia dan gajah. “Kematian gajah bisa terus berlanjut, juga korban jiwa manusia dan materi,” kata Wahdi.

BKSDA Aceh mengaku kewalahan mengatasi gajah ke kebun dan memakan tanaman warga. Di Aceh, hanya ada empat CRU yakni di Aceh Utara, Pidie, Aceh Jaya dan Aceh Selatan. Gajah yang dianggap mengganggu menyebabkan masyarakat tak sabar dan mulai berani meracun.

Tahun lalu 14 gajah ditemukan mati di perkebunan sawit di Aceh seperti Aceh Barat, Aceh Jaya, Aceh Timur, Aceh Selatan, Aceh Utara dan Bireuen. Sebagian besar diduga dibunuh sengaja memakai racun. Racun mulai dari diracik tradisional sampai khusus membunuh satwa seperti jenis temik hingga racun striknin yang berharga mahal.

Sayangnya, dari 14 kasus kematian gajah di Aceh 2012, tak ada satu kasus pun diproses ke pengadilan. BKSDA Aceh kesulitan menyediakan barang bukti dan saksi mata. Andi Aswinsyah, Kepala  Urusan Konservasi Keanekaragaman Hayati  BKSDA Aceh, mengatakan, beberapa sampel hasil otopsi yang dikirim ke pusat laboratorium forensik Polda Sumatera Utara dikatakan tidak ditemukan kecocokan. “Sampel yang kami kirim ke Labfor, belum ada laporan hasil resmi. Mereka cuma bilang tidak ditemukan.”

Mati di Konsesi RAPP Riau

Sementara anak gajah berumur sekitar 6-7 tahun mati di konsesi hutan tanaman industri (HTI) milik PT. Riau Andalan Pulb and Paper (RAPP) di Baserah, dekat perbatasan dengan hutan Taman Nasional Tesso Nillo. Ini kawasan perbatasan antara Kabupaten Kuantan Singingi dan Kabupaten Pelalawan Provinsi Riau pada 6 Mei 2013. Bangkai anak gajah itu ditemukan tim patroli WWF Indonesia di antara tanaman akasia siap panen. Gading kecil sudah hilang. Diperkirakan ia sudah mati enam hari sebelumnya.  Ini kejadian kesekian kali gajah mati di konsesi RAPP. Terakhir November 2012, tiga gajah terdiri induk, remaja dan anak mati di konsesi perusahaan milik Sukanto Tanoto ini di Baserah.

Menurut Syamsidar, Communication Internal WWF Indonesia Kantor Program Riau, kematian anak gajah itu menambah kecemasan upaya pembunuhan gajah dengan sengaja mengincar gading. Hingga saat ini belum diketahui penyebab kematian anak gajah itu.  Namun, di lapangan ditemukan semacam sabun yang biasa dipakai campuran racun. Dokter hewan dari Dinas Perternakan Kabupaten Palalawan dan BKSDA Riau sudah otopsi dan masih menunggu hasil.

Sepanjang 2004 hingga 2010 tercatat lima kematian gajah  karena senjata api diduga aktivitas perburuan gading. Namun, awal 2012, kematian gajah beruntun di sekitar blok hutan Tesso Nilo sangat mencengangkan. Dari 15 kematian gajah di Riau, sembilan di sekitar Tesso Nilo.

Konflik gajah dan manusia di sekitar blok hutan Tesso Nilo cukup tinggi. Di luar konsesi sawit dan akasia di kawasan itu, saat ini marak  perambahan hutan untuk kebun sawit, karet dan pemukiman pendatang. Di sekitar Tesso Nillo ada dua kantong populasi gajah Sumatera berkisar 150-200.

Muslim Rasyid, Koordinator Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau (Jikalahari) mendesak pemerintah segera menetapkan kawasan konservasi gajah di daerah itu untuk melindungi sisa populasi.  Penegakan hukum lemah menyebabkan gajah-gajah terus dibunuh. “Siapa dalang dibalik itu? Kita bisa lihat di kawasan mana gajah-gajah itu mati. Jika itu di kawasan RAPP jelas ini untuk melindungi kepentingan mereka.”

Kasus kematian gajah Sumatera yang tinggi di Aceh dan Riau makin mengkawatirkan upaya penyelamatan populasi yang tersisa. Gajah Sumatera menurun drastis kurun empat tahun terakhir. Akhir 2011, Lembaga Konservasi Dunia (IUCN) menaikkan status keterancaman gajah Sumatera dari “genting” menjadi “kritis”, selangkah lagi akan menuju status “punah di alam”. Ini status terburuk dibandingkan subpecies gajah lain, baik di Asia maupun Afrika. Saat ini, gajah Sumatera di alam diperkirakan tidak lebih dari 2.400– 2.800 saja, turun 50 persen dari populasi sebelumnya 3.000 – 5.000 pada 2007. (TGR/Mongabay Indonesia)

Sumber :Mongabay Indonesia

0 Komentar di Blogger
Silahkan Berkomentar Melalui Akun Facebook Anda
Silahkan Tinggalkan Komentar Anda
http://tusoh.blogspot.com/

0 komentar: