Kemana Konflik Sabah Berujung? Waspada Kaltara!
Penulis : M Arief Pranoto, Research Associate GFI
Mengawali artikel sederhana ini, rasanya belum bisa membuat hipotesa
siapa dan mengapa dibalik aksi pendudukan “aneh” tentara Sulu di Sabah,
Negara Bagian Malaysia. Atau barangkali serbuan ala Sultan Kiram III
yang dipimpin putra mahkota, Raja Muda Agbimuddin Kiram itu murni
aspirasi politik rakyat Sulu yang menginginkan romantisme desa Tandua,
Lahad Datu kembali menjadi wilayah Kesultanan Sulu?
Agaknya fakta, data dan informasi masih remang guna menguak hidden agenda atas penyerbuan dimaksud. Berita di media-media cuma mengurai open agenda semacam kronologi peristiwa, sejarah Kesultanan, motivasi Sulu yang ingin mengambil hak kedaulatan, atau sekedar memaparkan korban-korban kedua belah pihak. Sekali-sekali menggambarkan ketidak-imbangan pertempuran di Sabah, karena pihak Malaysia menurunkan peralatan perang modern seperti jet tempur dan lainnya. Untuk data terakhir, serangan jet tempur oleh Malaysia dinilai berlebihan, "Tindakan mereka itu pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia (HAM), karena menurut saya sama sekali tidak proporsional dan tidak diperlukan," ungkap Harry Roque, profesor hukum dari Universitas Filipina seperti dikutip Aljazeera, 6 Maret 2013.
Tulisan tak ilmiah ini juga tak hendak menelaah siapa menang atau siapa kalah dalam konflik tersebut, sebab teori perang modern jelas, bahwa kalah jumlah pasukan serta kalah canggih teknologi tempur niscaya kalah perang. Sudah bisa ditebak: Sulu pasti kalah! Banyak contoh peristiwa, teraktual ialah pendudukan militer Rusia terhadap Georgia dekade 2010-an yang cuma butuh waktu seminggu. Ya, perang seminggu. Akan tetapi tidak sedikit fenomena mencengangkan dunia, artinya sesuatu yang tak diunggulkan justru memenangkan pertempuran. Misalnya kisah 10 Nopember 1945 di Surabaya tempo doeloe, atau perang Vietnam melawan Amerika Serikat (AS) dekade 1970-an, atau yang paling anyar ialah kemenangan Hamas dalam peperangan di Gaza baik saat “Cast Lead”, operasi militernya Israel digelar dekade 2008-an maupun operasi “Pillar of Cloud” tahun 2012 lalu.
Tak boleh dilupakan ialah kemenangan Taliban atas pasukan koalisi Barat pimpinan AS di Afghanistan (2001-2012) dan Irak (2003-2012) yang berakibat runtuhnya bangunan ekonomi Barat sehingga menimbulkan krisis ekonomi berlarut hingga kini, terutama bagi kelompok negara yang terlibat “sharing saham” pada perang di kedua negara. Itulah fenomena ganjil yang mematahkan teori perang modern. Dengan kata lain meski Hamas, Vietnam, Taliban, Indonesia dst kalah dalam jumlah pasukan dan peralatan tetapi ternyata mampu memenangkan pertempuran. Apakah fenomena tak lazim ini bisa merambah ke Sabah? Berita terakhir pasukan Sulu sudah kocar-kacir diburui oleh militer dan polisi Malaysia, bahkan putra mahkota pun tak tentu rimbanya. Sultan Sulu meminta gencatan senjata namun Malaysia menolak tegas!
Mengkaji konflik Sulu versus Malaysia memang agak “rancu”. Jika Taliban, atau gerilyawan Vietnam dan Indonesia berjuang demi mempertahankan kedaulatan negara dari cengkeraman asing, maka motivasi Sulu dari aspek motivasi dan geopolitik terbilang uniq. Bukankah Sulu bagian kedaulatan Philipina, kenapa pemerintah Aquino tidak bisa berbuat banyak; kemudian dari mana Kesultanan Sulu memperoleh dana karena operasi militer niscaya butuh uang banyak, “Saya tidak yakin Sultan kaya raya. Menurut Pemerintah Filipina, dia sangat miskin," ujar Mahathir seperti dikutip The Star, Sabtu (16/3/2013). Tapi Sultan Sulu mengklaim dirinya mendapat dukungan diplomatik dari pihak Barat. Satu negara Barat disebut membantu Kesultanan Sulu menyelesaikan sengketanya dengan Malaysia soal Sabah. Entah negara mana belum terkuak jelas.
"Kami mendapat bantuan dari satu negara Barat. Mereka berusaha meyakinkan Malaysia untuk mau menghentikan kekerasan dan bersedia duduk di meja perundingan," ujar juru bicara Kesultanan Sulu, Abraham Idrijani, seperti dikutip GMA News, Minggu (17/3/2013).
Jika gerakan Sulu diidentikkan separatis seperti Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dulu, maka analog manuvernya ibarat GAM menyerbu Singapore, atau Organisasi Papua Merdeka (OPM) menginvasi New Zealand, Papua New Guinie, atau pasukan Kesultanan Yogyakarta menduduki Cristmas Island, Australia dll. Ganjil memang. Sesuatu yang tak akan terjadi di Indonesia bahkan juga di berbagai negara lain. Lazimnya malah sebaliknya, artinya negara tetangga “bermain” dan men-support kelompok separatis atau negara adidaya membantu gerakan pemberontakan di wilayah tertentu dengan bermacam dalih padahal justru mereka yang sebenarnya ingin menancapkan kepentingannya. Ini yang sering terjadi. Entah demi minyak, atau berdalih kontra ideologi, kepentingan geopolitik dan lain-lain. Conflict is protection oil flow. Perang berlarut antara Maroko versus Sahara Barat misalnya, kajian Global Future Institute (GFI) terkait urgensi geopolitik AS menghujamkan kuku kolonialisasi. Semacam pola dan strategi pembiaran. Kepentingan utama Paman Sam ialah (sengaja) menciptakan wilayah tak bertuan di Jalur Sutra agar kelak memudahkan manuver militer, atau supply senjata, alasan membendung kelompok radikal, eksploitasi minyak dan lain-lain. (Baca: Konflik Maroko versus Sahara Barat: Pola Kolonialisme Melestarikan Wilayah Tak Bertuan di Jalur Sutra).
Melacak dalang dan siapa pemilik hajatan pada pendaratan pasukan Sulu ke Sabah memang harus berpikir out of the box, kendati harus tetap pada koridor asumsi berbasis kelogisan. Konflik lokal merupakan bagian dari konflik global. Ini asumsi logis. Terpecahnya Sudan menjadi dua negara, termasuk lepasnya Timor Timor dari NKRI bukanlah peristiwa tunggal yang berdiri sendiri atau murni aspirasi rakyat setempat, tetapi kuat disinyalir sebagai skenario para adidaya terkait kepentingannya. Timor Timur misalnya, tiba-tiba permintaan referendum dari individu (komprador) dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dengan alasan HAM menjadi sangat gencar di media setelah ditemukan cadangan minyak di Celah Timor yang kini dikelola oleh Australia dan Thailand. Ini sekedar contoh saja. Referendum, HAM dll hanya sasaran antara sedang tujuan pokok adalah minyak di Celah Timor. Itu sudah jamak dalam dunia politik.
Demikian pula “keberanian” Sulu menyerbu Sabah, niscaya bukan ujug-ujug tetapi disinyalir adalah “titipan skenario” para adidaya untuk meloloskan kepentingannya melalui isue sengketa perbatasan yang kini tengah marak di Laut Cina dan sekitarnya. Ya, sengketa perbatasan merupakan isue aktual yang ditebar oleh AS terkait geopolitical shift atau bergesernya geopolitik dari Jalur Sutra (Timur Tengah, Asia Tengah dan Afrika Utara) menuju Asia Tenggara. Pengakuan Sultan Sulu bahwa ia mendapat “dukungan” dari salah satu negara Barat, bisa dijadikan titik pembuka, siapa sebenarnya dibalik aksi penyerbuan pasukannya ke Sabah. Pertanyaan yang timbul: seandainya Sabah cuma penghasil enceng gondok atau tape ketan apakah Kesultanan Sulu bakal menyerbu Lahad Datu dengan berbagai dalih; atau ada agenda lain?
Media Free Malaysia Today memberitakan, Sabah memiliki cadangan minyak1,5 miliar barrel di tahun 2011, sedang cadangan gas alam tercatat 11 triliun kubik. Telah diketemukannya beberapa sumber minyak dan gas (migas) baru di Sabah akan semakin menambah tinggi cadangan migas Malaysia. Kekayaan minyak Sabah dikelola Petronas, perusahaan minyak yang didirikan pada tahun 1974 dan dimiliki oleh pemerintah federal. Dalam sebuah perjanjian yang ditanda tangani pada tahun 1975, Sabah menerima royalti sebesar 5% dari nilai kotor produksi minyak. Di tahun 2011 saja, Petronas meraup keuntungan atas penjualan minyak Sabah senilai RM15 miliar atau sekitar Rp 47 triliun.
Terkait geopolitik migas di Sabah, isyarat Guilford dalam buku Energy Policy (1973) masih relevan membedah “keremangan konflik” antara Sulu melawan Malaysia: “when it comes to oil is 90% all about politic and 10% its about oil it self”. Tatkala menyangkut minyak maka lebih kental nuansa politik (90%) dan sisanya soal teknis minyak itu sendiri. Termasuk referendum sepihak oleh Inggris atas Kepulauan Malvinas atau Falkland juga karena ditemukan ladang-ladang minyak baru oleh Inggris. Retorikanya: negara manakah yang meletakkan minyak sebagai “Kepentingan Nasional”-nya bahkan dijadikan doktrin (The Power of Oil) bagi siapapun presiden yang terpilih; bagaimana implementasinya asumsi Guliford atas kasus di atas?
Sebagaimana lazimnya di negara manapun senantiasa terdapat friksi internal menjelang perubahan serta pergantian kekuasaan. Demikian juga Pemilu 2013 di Negeri Jiran. Semacam politisasi konflik Sabah. Tak kurang, Perdana Menteri (PM) Malaysia Najib Razak mengecam tindakan Ketua Dewan Ulama Partai Islam se-Malaysia (PAS) Datuk Harun Taib yang katanya mempolitisir konflik. Kecaman Najib terkait penyebutan pahlawan kepada petugas keamanan Malaysia yang tewas dalam konflik ini. Tidak prinsip memang, hanya perbedaan budaya aliran dalam agama. Yang mutlak dicermati adalah tuduhan PM Najib kepada Anwar Ibrahim karena dianggap “mengundang” tentara Kesultanan Sulu masuk ke wilayah Sabah, kendati Anwar membantah tuduhan Najib dan menganggap sebagai akal-akalan guna menjatuhkan dirinya menjelang Pemilu. Tidak akan ada asap tanpa ada api. Dimanapun di dunia, statement seorang PM bukanlah asal njeplak atau tiba-tida tanpa dasar, niscaya Malaysia sudah mengantongi informasi terkait “undangan” Anwar terhadap Kesultanan Sulu agar menduduki Lahad Datu di Sabah.
Penelitian Tony Cartalucci menarik untuk didalami lebih jauh. Tony adalah research associate dari Central Research for Globalization (CRG) Kanada pimpinan Prof Michel Cossudovsky. Ia menyatakan bahwa kekerasan di Sabah terkait dengan kampanye Wall Street untuk menginstal Anwar Ibrahim sebagai Pemimpin Malaysia.
The Star/Asia News Network dalam artikel yang bertajuk “Najib: Govt to investigate claims of Opposition instigating Sulu Sultanate to reclaim Sabah,” menyebutkan:
"The Prime Minister has directed Malaysian intelligence to investigate claims that the Opposition was among parties responsible in instigating the heir of the Sulu Sultanate to reclaim Sabah" (Terjemahan bebas: bahwa Perdana Menteri telah diarahkan intelijen Malaysia untuk menyelidiki klaim bahwa pihak oposisi bertanggung jawab dalam menghasut pewaris Kesultanan Sulu untuk merebut kembali Sabah).
Anwar Ibrahim, tulis Tony, merupakan sosok oposisi di Malaysia dari Partai Islam Malaysia (PAS) yang menghabiskan umurnya untuk melayani kepentingan Barat. Anwar adalah Ketua Komite Pembangunan Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional (IMF), Konsultan Bank Dunia (WB), pengajar di Johns Hopkins University, panelis di Neo-Con Lined di National Endowment for Democracy (NED) dan NED Donation Ceremony. NED. Ya, NED pula yang mendanai dan mendukung gerakan BERSIH, gerakan massa jalanan yang notabene diciptakan oleh dan dalam rangka pelayanan ambisi politik Anwar Ibrahim.
Gerakan BERSIH dekade 2012-an kemarin memang mengejutkan Kuala Lumpur karena melibatkan ratusan ribu massa, bahkan ada yang menilai sebagai Southeast Asia Spring (Musim Semi Asia Tenggara) mutasi atau reinkarnasi dari Arab Spring di Jalur Sutra yang dioperatori oleh Central Applied Non Violence Action dan Strategic (CANVAS), anak organisasi NED, LSM berbasis di Washington DC yang didanai oleh AS guna mendukung: “kebebasan di seluruh dunia.” Tampaknya di Malaysia, NED meremot Anwar Ibrahim dari kejauhan. Entah siapa sosok “Anwar Ibrahim” di Indonesia?
Lain Tony Cartalucci, lain pula penelitian Ghuzilla Humied, salah satu GFI Network Associate pimpinan Hendrajit yang sering melanglang buana. Humied menemukan data permulaan bahwa komando dan kendali tertinggi gerakan AS berpusat di Pulau Socotra, Yaman, sedang manuver untuk wilayah Afrika dan Arab terletak di Qatar. Ia mengingatkan bahwa media mainsteam Al Jazeera yang sering menjadi propaganda Barat justru ada di Qatar.
Majalah Jerman, Der Spiegel melaporkan, bahwa televisi itu bekerja untuk kepentingan politik pemiliknya, yaitu Emir Qatar, Syeikh Hamad bin Khalifa Al Thani. Akhtam Suliman, koresponden Al Jazeera di Berlin, Jerman mengatakan, "Sebelum musim semi Arab (Arab Spring) bergulir, kami adalah suara perubahan dan corong protes bagi aktifis-aktifis politik di kawasan, namun Al Jazeera sekarang telah berubah menjadi sebuah media propaganda". Keputusan di televisi ini tidak diambil berdasarkan prioritas wartawan, akan tetapi berdasarkan kepentingan Kementerian Luar Negeri Qatar. "Al Jazeera menutup mata atas demonstrasi besar-besaran rakyat melawan pemerintah Bahrain yang merupakan sekutu Emir Qatar, namun di Suriah, dimana Qatar terang-terangan memberi dukungan kepada pihak oposisi, Al Jazeera bekerja untuk kepentingan pemberontak".
Tak boleh dielak, bahwa Qatar adalah anggota Dewan Kerjasama Teluk (GCC) selain Arab Saudi, Kuwait, Oman, Bahrain dan Uni Emirat Arab (UEA) dimana keberadaan GCC merupakan “skema strategis” yang dirancang oleh dua konglomerat Amerika-Inggris yakni Rockefeller dan Rothschild.
Kembali pada hasil penelitian Humied, untuk poros pergerakan AS di wilayah Asia - Laut China Selatan dan ASEAN berada di Singapore. Makanya baik Singapore maupun Qatar getol sekali menerima expatriate (orang yang tidak tinggal di negerinya/melepas kewarganegaraannya) dari berbagai negara dari berbagai disiplin ilmu dan otomatis dibayar mahal guna menempati pos-pos strategis yang secara tidak langsung terlibat dalam jalur skema komando di atasnya. Sayang penelitian Humied belum mengarah kepada siapa person, LSM dan bagaimana model-model gerakan. Atau pola manuvernya bersifat simetris atau asimetris, atau kedua-duanya? Tidak dirinci secara detail oleh Humied.
Apa boleh buat. Berbekal keterbatasan data dan kemampuan, maka mengakhiri tulisan yang masih jauh dari ilmiah ini, penulis mencoba merangkai kesimpulan dari berbagai informasi yang seolah-olah tak nyambung. Apakah nanti hasilnya dianggap prakiraan, ramalan, atau apapun ---- boleh-boleh saja. Inilah uraian singkatnya.
(1) Pendudukan Sabah oleh tentara dari Kesultanan Sulu bukanlah murni aspirasi politik rakyat Sulu, tetapi diduga sekedar proxy war bagi para adidaya yang hendak menancapkan kepentingannya di Sabah dengan menumpangi isue sengketa perbatasan berbasis romatisme masa lalu Sulu;
(2) Pengakuan Sultan Sulu bahwa ia didukung salah satu negara Barat seperti nyambung dengan tuduhan PM Razak Najib bahwa pendudukan Sabah oleh pasukan Sulu merupakan “undangan” dari Anwar Ibrahim, sosok oposisi di Negeri Jiran yang track record-nya didedikasikan untuk melayani kepentingan Barat, juga terkait erat dengan Pemilu 2013 yang akan digelar beberapa bulan lagi di Negeri Jiran dimana Anwar dirancang oleh Wall Street menjadi Head of Malaysia;
(3) Masih perlu penelusuran lebih tajam tentang pendanaan dalam penyerbuan militer Sulu, apakah dibiayai oleh NED sebagaimana ia mendukung BERSIH dekade 2012-an kemarin, dimana gerakan massa BERSIH semodel Arab Spring di Jalur Sutra.
(4) Perlu didalami lagi keterkaitan antara Anwar Ibrahim – NED dan Singapore. Oleh sebab gerakan AS untuk wilayah Laut Cina Selatan dan ASEAN berpusat di Negeri Paman Lee, yang secara geografi memang bertetangga dengan Malaysia;
(5) Tujuan pendudukan Sabah oleh tentara Kesultanan Sulu (sebagai bemper) diprakirakan adalah penataan kembali dan negosiasi ulang konsesi atas pengelolaan migas di Sabah, karena selama ini dimonopoli oleh Petronas, Malaysia.
Pada gilirannya mutlak harus disadari bersama, bahwa konflik-konflik apapun yang meluas serta bersifat permanen, tampaknya pararel dan satu rute dengan jalur-jalur serta daerah penghasil migas serta jenis tambang lainnya, Maka terkait pembentukan provinsi baru di Indonesia yakni Kalimantan Utara (Kaltara), bagi segenap elit dan rakyat di perbatasan Indonesia wajib waspada, oleh karena selain kelima kota dan kabupaten di Kaltara memiliki potensi migas yang besar, juga secara geografi berdekatan dengan wilayah-wilayah koflik baru. Jangan-jangan konflik Moro dan Sabah dipindah ke Kaltara?