Dua saudara perempuan ini
terpikat dengan Islam. Ayah mereka yang kebetulan seorang yahudi
terpaksa berhadapan dengan keinginan agama dan pengusiran mereka dari
sekolah. Peristiwa ini telah menimbulkan kontraversi baik secara lokal
maupun nasional.
Laurent
Levy, seorang liberal dan ateis total, melihat perubahan dramatik pada
diri dua anak perempuannya, tetapi dia tidak begitu memberikan perhatian
penuh terhadap apa yang terjadi. Satu hari, kira-kira dua tahun lalu,
dua anak gadisnya berhenti makan babi. "Tidak ada masalah," tuturnya.
Tidak lama kemudian, mereka memberitahunya bahwa mereka berniat untuk
melaksanakan puasa penuh pada bulan Ramadhan. Levy berfikir bahwa itu
adalah satu hal yang paling wajar untuk dilakukan dalam dunia ini oleh
anak-anaknya.
Ketika anak-anak
Levy; Lila 19 tahun dan Alma 16 tahun memberitahunya bahwa mereka akan
berpuasa pada bulan Ramadan, dia tidak menghalangi mereka. "Itu hak
mereka," katanya.
Tidak lama
kemudian, anak-anak perempuannya memberitahu niat mereka untuk
menunaikan shalat lima kali sehari, seperti yang telah diperintahkan
dalam Quran. "Tidak ada alasan mengapa mereka tidak bisa
melakukannya,"pikir sang ayah. Kedua anak itu mula berhenti dari pergi
ke pantai dan memakai baju renang, dan malam mereka juga berhenti dari
mengunakan kolam renang keluarga pada musim cuti. Pada waktu malam,
kedua mereka duduk dan mempelajari Quran. Rekan-rekan tetangga menjadi
heran akan perubahan yang terjadi pada dua anak ini. Akhirnya secara
gradual, mereka mulai mengenakan pakaian panjang yang menutup tubuh
mereka, dan mengenakan stoking tebal walaupun pada musim panas.
Setahun lalu, transformasi tersebut menjadi lengkap. Lila dan Alma
mengenakan kerudung menutupi kepala mereka. Tidak lama kemudian, mereka
juga menutup dagu dan dahi mereka. Di sekolah mereka tidak lagi
berbicara dengan pelajar lelaki, mereka hanya berbisik antara satu sama
lain dan menjauhkan diri dari pelajar-pelajar lain. Mereka tidak
mengikuti lagi kelas-kelas olahraga, karena mereka dituntut untuk
memakai pakaian olahraga yang menampakkan bentuk tubuh mereka.
Dengan segera kedua beradik ini menjadi sebuah fenomena. Malah ditempat
mereka tinggal di Aubervilliers, bagian pinggir utara Paris, banyak
yang terkejut. Pada tahun-tahun kebelakangan, kawasan ini telah dipenuhi
dengan imigran Muslim dari Afrika Utara, dan orang-orang Paris sendiri
pindah ke tempat lain. Pada hari Jumat, penduduk kawasan ini mengambil
cuti dan lebih memilih untuk menghabiskan waktu mereka dengan shalat;
banyak anak muda yang tidak ke sekolah. Pada bulan Ramadan, kawasan ini
menjadi sunyi waktu puasa dan bangun ketika waktu berbuka.
Menurut sang ayah, anak-anak perempuannya begitu terpikat sekali dengan
agama Islam dan mendapati dirinya tidak mampu melakukan sesuatu dalam
berhadapan dengan proses laju keislaman anaknya. Sepanjang usianya, dia
membenci kepercayaan agama dan menyalahkan mereka karena kejahilan dan
pelbagai bentuk kesulitan yang ditimbulkan agama. Dia menyebarkan
sekularisme dan ikut terlibat dalam gerakan-gerakan sayap kiri, karena
di situ dia merasa tenang. Tidak lama lepas itu, dia menjadi penasihat
dalam kasus menentang Jean-Marie Le Pen pemimpin National Front karena
menjelaskan bahwa kamp-kamp konsentrasi sebagai "detail" Perang Dunia
Kedua. Dia turut mewakili organisasi-organisasi Islam menggugat pelakon
Brigitte Bardot selepas dia mempublikasikan sebuah buku anti Islam.
Debat jilbab
Kedua saudara ini telah dipanggil oleh kepala sekolah Sekolah Tinggi
Henri Wallon, tempat mereka belajar. Penampilan lahiriah mereka telah
menimbulkan gejolak dikalangan para pelajar. Mereka diperintah untuk
memakai pakaian sekolah seperti orang lain; jika tidak, mereka akan
dikeluarkan dari sekolah. Kedua saudara ini menolak. Pihak sekolah
menghantar surat kepada kedua orang tua mereka dan memberi pernyataan
tindakan yang akan mereka ambil. Orang tua kedua saudara ini, yang sudah
bercerai, mempertahankan tindakan anak-anak mereka dengan cara mereka
sendiri. Sang ibu berusaha untuk menampilkan lunak sikap kedua anaknya
sementara Sang bapa memberikan dukungan penuh atas tindakan
anak-anaknya.
Status dua saudara
ini digantung dari sekolah sehingga komisi displin mengambil keputusan
akan nasib mereka. Pihak media menggambarkan hal tersebut sebagai ujian
kepada sekularisme negara, dan kisah tersebut menjadi kepala cerita
media. Pihak intelektual menjadi gempar, demikian juga pihak politik
lokal; baik intelektual maupun politisi secara terbuka menekan pihak
komisi displin sekolah untuk membuat keputusan berdasarkan pandangan
mereka.
Perdebatan itu tidak
sekadar pada tahap teorinya saja. Karena hal ini turut menyentuh detil
pakaian yang paling kecil sebagai bentuk menyatakan sekularisme negara,
dibandingkan dengan pakaian yang mengancam kedudukannya. Sebelum
anak-anak itu digantung dari sekolah, mereka diminta untuk menanggalkan
kerudung mereka karena menunjukkan agama mereka. Pihak berkuasa sekolah
mengaitkannya dengan undang-undang yang ditetapkan pada tahun 1905
berkaitan pemisahan antara gereja dan negara, mereka memberi argumentasi
bahwa kerudung melanggar semangat undang-undang.
Saat berdiskusi tentang status sekolahmereka yang digantung, salah
seorang anak perempuan Levy mengatakan bahwa kopiah yahudi juga menutup
kepala. Dia diberitahu bahwa menutup sebagian dari kepala tidak termasuk
melanggar pemisahan gereja dan negara. Lila merasa marah karena dia
digantung dari sekolah. "Mereka mengarahkan kami untuk memperlihatkan
akar rambut kami, telinga dan leher kami. Tetapi andainya kami melakukan
tersebut, lebih baik kami tidak mengenakan kerudung sama sekali – lebih
baik kami bawa kerudung itu dengan tangan kami saja."
Pihak komisi disiplin mengadakan pertemuan di sekolah. Puluhan wartawan
berkumpul didepan pintu pagar sekolah, kamera televisi menayangkan
kedatangan anak-anak perempuan itu dengan ayahnya. Pertemuan berlangsung
alot dari jam 6 petang sehingga hampir lewat tengah malam. Orang-orang
Perancis menanti keputusan komisi seperti menanti masa depan Perancis
yang bergantung hanya pada keputusan beberapa anggota sekolah dipinggir
Paris.
Di akhir pembicaraan,
anggota keluarga Levy meninggalkan ruangan. Ekspresi wajah mereka
memperlihatkan apa yang telah terjadi. Salah seorang guru memberitahu
wartawan bahwa itu bukan sebuah diskusi pendidikan tetapi seperti sebuah
pengadilan militer. Seorang guru lain pula menyebutkan apa yang terjadi
adalah benar dan keputusan yang pasti telah diambil. "Kami memutuskan
untuk mengeluarkan mereka dari sekolah, karena 'keseimbangan' di
Perancis menyebutkan bahwa menutup kepala tidak menutupi rambut, telinga
dan leher." "Tampaknya muslimah tidak ingin bagian ini terbuka."
katanya.
Setelah tengah malam, keluarga Levy pulang ke rumah. Levy masih marah; anak-anaknya masih menyeka air mata mereka.
Levy mempertahankan hak anak-anaknya untuk mematuhi ajaran agama. Dia
gembira anak-anaknya telah memilih cara hidup yang dapat memberikan
mereka kebahagiaan dan mengatakan bahwa walaupun dia sendiri adalah
seorang ateis, dia tidak dapat mengelakkan dirinya dari merasa kagum
terhadap pilihan anak-anaknya.
Levy 47 tahun, lahir dalam sebuah keluarga Yahudi di Tunisia dan
berimigrasi ke Perancis ketika masih muda. Menurutnya dia adalah Yahudi
Sephardi yang berakar di Amsterdam dan Leghorn. Ayahnyasangat aktif
dalam komunitas Yahudi di Tunisia dan malah telah menulis sebuah buku
berkaitan komunitas tersebut. Anak-anaknya tidak pernah menyembunyikan
keyahudian mereka dan malah mereka bangga akan warisan yahudi mereka.
Levy mempunyai empat anak: Lila dan Alma, Sami 20 tahun dan Noura, 16
tahun. "Mereka adalah anak-anak yang baik," guraunya."Karena saya yang
mendidik mereka, saya mengajar mereka untuk tidak menerima realita dan
menjadi pembangkang. Saya bangga bahwa saya telah berhasil mendidik
mereka. Lila dan Alma telah menjadi penentang dengan cara mereka
sendiri."
"Anak-anak saya bukan
militan dan mereka juga tidak berusaha untuk menarik rekan sekolah
mereka memeluk Islam. Tidak ada seorang anggota komisi disiplin yang
mengklaimnya, tetapi mereka semuanya meminta anak-anak saya menunjukkan
badan mereka. Mereka ini benar-benar telah menjadi ayatullah
sekularisme. Sejak kapan, saya bertanya kepada mereka, orang bisa
dipaksa untuk menunjukkan tubuh mereka? Malangnya, inilah pemandangan
yang amat memalukan. Tidak ada di antara mereka yang mendengar pandangan
saya karena hasilnya memang telah ditentukan terlebih dahulu."
Dia berhasrat untuk mencari alternatif lain supaya anak-anak
perempuannya bisa melanjutkan pendidikan mereka. Agar mereka bisa lulus
ujian dan Alma juga bisa menamatkan kelas ke 11-nya. "Sekurang-kurangnya
di universitas, tidak ada siapapun yang dapat melarang mereka
mengenakan jilbab," tambahnya. Mereka akan dapat merasakan seperti
Muslim tanpa diganggu orang lain. (IRIB Indonesia / missionislam.com)