Menghitung keuntungan atau kerugian bisnis BBM secara nasional adalah seperti menghitung soal-soal matematika anak SMP, sama sekali tidak rumit. Tidak ada persamaan eksponensial, tidak ada differensiasi, tidak ada logaritma dan metode-metode lainnya yang sedikit lebih rumit apalagi metode tingkat tinggi. Masalahnya adalah pemerintah menyembunyikan data-data yang diperlukan untuk menghitungnya. Misalnya saja, berapa biaya produksi sebenarnya dari tiap 1 liter BBM, atau yang lebih penting lagi, bagaimana kontrak bagi hasil bisnis BBM antara pemerintah dengan kontraktor.
Mati kita main hitung-hitungan ala anak SMP. Untuk penyederhanaan tanpa menimbulkan perbedaan signifikan dari kondisi sebenarnya, kita anggap semua minyak bumi yang dihasilkan di Indonesia diolah menjadi premium, demikian juga semua konsumsi minyak adalah premium. Data yang saya peroleh tentang biaya pengeluaran minyak sampai ke atas muka bumi (lifting) ditambah dengan pengilangan sampai menjadi BBM (refining) ditambah dengan pengangkutan sampai ke pompa-pompa bensin (transporting), seluruhnya adalah sebesar USD 10 per barrel. Dengan kurs yang 1 USD = Rp. 9.000, biaya yang dikeluarkan untuk menghasilkan 1 liter premium adalah sebesar Rp 566. Sekali lagi Rp 566/liter premium. Harga jual premium adalah Rp 4.500/liter atau Rp 715.500/barrel. Harga minyak internasional adalah $100/barrel atau setara Rp 900.000/barrel atau Rp 5.660/liter.
Konsumsi BBM Indonesia adalah 63 miliar liter atau 400 juta barrel/tahun atau 1,1 juta barrel/hari. Produksi domestik adalah 900.000 barrel/hari atau setara 143 juta liter/hari. Kekurangan konsumsi harus dipenuhi dengan impor sebanyak 200.000 barrel/hari atau setara 31,8 juta liter/hari.
Dalam kondisi seperti ini berapa keuntungan atau rugi (subsidi) dari bisnis minyak tanah air?
Pertama kita hitung pendapatan minyak nasional dari produksi domestik, yaitu jumlah produksi dikalikan harga domestik yang nilainya adalah 143 juta liter/hari x Rp 4.500/liter = Rp 643,5 miliar/hari.
Kedua kita menghitung biaya produksi minyak tersebut, yaitu sebesar 143 juta liter/hari x Rp 566/liter = Rp 81 miliar/hari.
Dengan demikian keuntungan dari produksi minyak domestik adalah Rp 643,5 miliar - Rp 81 miliar = Rp 563 miliar/hari atau setara Rp 205,5 triliun/tahun.
Selanjutnya marilah kita hitung "subsidi" yang dikeluarkan pemerintah untuk memenuhi kebutuhan minyak domestik dengan mengimpor minyak dari pasar luar negeri sebesar 200.000 barrel/hari. Biaya yang dikeluarkan pemerintah untuk mengimpor minyak tersebut adalah 31,8 juta liter/hari x Rp 5.560/liter = Rp 180 miliar/hari. Namun pada saat yang hampir bersamaan pemerintah mendapat pengembalian dari penjualan minyak impor tersebut setelah dijual di pasar domestik, yaitu sebesar 31,8 juta liter/hari x Rp 4.500/liter = Rp 143,1 miliar/hari. Dengan demikian "subsidi" yang benar-benar dikeluarkan pemerintah adalah Rp 180 miliar - Rp 143,1 miliar = Rp 36,9 miliar/hari atau setara Rp 13,47 triliun.
Kita lihat bahwa ternyata "subsidi" yang dikeluarkan pemerintah masih jauh lebih kecil dari subsidi yang diberikan kepada para bankir penilep dana BLBI yang mencapai puluhan triliun rupiah setiap tahunnya, atau hanya 2 x subsidi yang diberikan kepada Bank Century. Itupun belum dihitung keuntungan pemerintah yang sebesar Rp 205,5 triliun per-tahun.
Jadi mengapa pemerintah ngotot untuk menaikkan harga BBM? Apakah Kalau alasan pemerintah adalah keuntungan yang didapat selama ini masih kurang banyak? Kalau alasan pemerintah adalah karena pemerintah terlalu miskin untuk sekedar memberi subsidi sebesar Rp 13,47 triliun, lalu mengapa pemerintah bisa membeli pesawat kepresidenan hampir senilai Rp 1 triliun? Mengapa pemerintah masih bisa membiayai perjalan dinas para pejabat hingga Rp 20 triliun per-tahun? Mengapa pemerintah dengan mudah memberi subsidi pengembalian BLBI sebesar Rp 30 triliun per-tahun? Dan mengapa pemerintah dengan gampang menalangi Bank Century sebesar Rp 6,7 triliun?
Sebenarnya pemerintah itu bekerja untuk siapa?
sumber:http://cahyono-adi.blogspot.com