Penulis : M Djoko Yuwono, Wartawan Senior
Tidak
ada dalam sejarah, partai terlibat dalam proses kemerdekaan Indonesia.
Kenapa sekarang partai justru begitu dominan mengatur negara ini? Partai
sebagai pengemban amanat rakyat?
Mari berkilas balik ke era prakemerdekaan. Ketika hendak memerdekakan diri, Indonesia berada di bawah pendudukan Jepang. Pada era pendudukan Jepang inilah partai-partai dilarang melakukan kegiatan.
Sebelum kedatangan Jepang, ada lembaga Volksraad yang di dalamnya duduk beberapa fraksi seperti Fraksi Nasional, Fraksi Indonesische Nationale Groep, dan Fraksi Perhimpunan Pegawai Bestuur Bumi Putera, tetapi itu semua bukanlah partai.
Partai ada di luar Volksraad, misalnya gabungan partai-partai politik yang kemudian membentuk dewan perwakilan nasional, disebut Komite Rakyat Indonesia (KRI). Di KRI ini ada GAPI (Gabungan Politik Indonesia), ada MIAI (Majelisul Islami A'laa Indonesia), ada MRI (Majelis Rakyat Indonesia).
Begitu Jepang datang, semua kegiatan partai politik dilarang. Hanya golongan Islam diberi kebebasan untuk membentuk partai: Partai Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia). Itu pun lebih banyak bergerak di bidang sosial.
Baru beberapa bulan setelah proklamasi kemerdekaan, partai menunjukkan aktivitasnya, sampai pada pelaksanaan pemilu multi partai tahun 1955 (berdasarkan UUD Sementara). Pemilu ini memunculkan 4 partai besar: Masyumi, PNI, NU dan PKI. Tapi, sistem banyak partai ternyata tidak dapat berjalan baik. Kabinet pun jatuh bangun, gagal melaksanakan program kerjanya. Usai Pemilu 1955, lembaga konstituante gagal menjalankan tugasnya membuat konstitusi (UUD), shg Presiden Sukarno terpaksa mengeluarkan dekrit (5 Juli 1959) kembali ke UUD 1945.
Sejak itu, partai terus mengharu biru politik Indonesia, katanya sebagai representasi kehendak rakyat. Partai menjadi instrumen politik dengan segala dinamikanya, seolah merekalah yang paling berhak mengatur negara ini. Nyatanya?
sumber:http://theglobal-review.com